Bila kita melihat Taipei Story (1985) melalui kisah linear peristiwa tokoh-tokohnya, maka akan didapat cerita seperti ini: Seorang pria bernama Lung (Hou Hsiao-hsien) yang baru saja pulang kampung dari Amerika Serikat, lalu menemui kekasihnya Chin (Tsai Chin). Mereka memiliki banyak rencana untuk masa depan, salah satunya menikah dan pindah ke Amerika Serikat. Namun, banyak hal yang ternyata membuat hubungan mereka tidak lagi sejalan. Puncaknya ketika Lung memutuskan memberikan uang yang seharusnya digunakan sebagai modal usaha untuk membantu ayah Chin dan Lung ketahuan menemui kekasih lamanya Gwan (Su-Yun Ko) di Jepang. Mereka lalu berpisah dan masing-masing menemukan jalannya menuju masa depan.
Deskripsi di atas adalah sinopsis cerita utama dari Taipei Story . Kisah tentang pertemuan dan perpisahan seorang pria dan perempuan adalah kisah yang variasinya sangat umum dieksplorasi dalam medium film dari berbagai wilayah dan periode. Namun yang membedakan Taipei Story adalah adanya gairah dan kegelisahan yang khas dan spesifik, yang terhubung dengan semangat zaman dan lokasi latar ceritanya.
Lung dan Chin
Lung dan Chin adalah dua tokoh utama. Keseluruhan cerita, simbolisme, alegori serta pemaknaannya melintas langsung dengan keberadaan mereka. Lung adalah seorang pengusaha kain yang tokonya di berada sudut kota Taipei, seorang mantan atlet baseball remaja yang pernah berprestasi di kejuaraan nasional. Chin adalah seorang pekerja kantoran; asisten pribadi pemimpin firma arsitektur. Di awal film, penonton diberikan informasi bahwa firma tempat Chin bekerja mengalami kesulitan finansial lalu diambil alih oleh sebuah perusahaan sehingga terjadi restrukturisasi, yang berimbas pada dirumahkannya Chin. Di sisi lain Chin juga baru saja pindah dari rumah orang tuanya, di sebuah hunian lumayan besar untuk ditinggali sendiri. Berbagai permasalah ini yang membuatnya cemas dengan masa depan. Baik Lung dan Chin sudah mengenal lama sejak masih bermain di masa sekolah. Sepanjang durasi film ini, konflik utama berpusat pada bagaimana keduanya semakin berjarak satu sama lain, dan jarak itu diciptakan oleh cara pandang mereka menghadapi waktu.
Waktu dalam Taipei Story berbentuk sentripetal, yang berarti waktu menarik seluruh unsur dalam film—baik tokoh-tokohnya dan latar film—ke dalam pusarannya. Waktu bukan hanyalah durasi yang melintas linear untuk menceritakan sebuah kisah, dia menjejak dalam material dan menubuh dalam tokoh-tokohnya. Keberadaan waktu yang demikian digunakan sebagai perenungan zaman tentang sebuah kota yang saat itu sedang mengalami dinamika sosio-kultural akibat dari kemakmuran ekonomi dan modernisasi baik dalam hal kultur maupun infrastruktur.

Taipei Story (1985)
Lung dan Chin merepresentasikan dua bingkai waktu yang berbeda. Lung adalah pria yang menetap dalam masa lalunya; sementara Chin sebaliknya. Karenanya pula keduanya juga memiliki kejaran kegelisahan yang berbeda; Obsesi Lung terhadap baseball, di mana waktu kesehariannya dihabiskan dengan bertemu mantan rekan bermainnya dulu, menonton ulang tayangan baseball di televisi dan menemui pelatih baseballnya. Realita yang dihadapi Lung bukalah realita yang menjejaki kenyataan fisik. Dia hidup dalam masa lalu yang tidak bisa lagi digapai, dan baseball adalah upayanya untuk mengejar ingatan terhadap masa lalu itu. Sementara kegelisahan Chin adalah kegelisahan terhadap material dan ketidakpastian masa depan, yang diliputi pertanyaan tentang pekerjaan, hunian dan seberapa jauh hubungannya dengan Lung bisa berlanjut. Pertanyaan-pertanyaan yang lekat dengan kenyataan hidup kelas menengah. Selain baseball, upaya Lung untuk bisa memperkecil jarak dengan masa lalu adalah dengan menemui kekasih lamanya, Gwan, di Taipei dan di Jepang. Sebuah tindakan yang selanjutnya menjadi pelatuk akhir hubungan mereka.
Salah satu titik krusial di film ini adalah keputusan Lung untuk memberikan uang modal usaha ke ayah Chin, usaha yang juga memungkinkan Lung dan Chin untuk pindah melanjutkan hidup ke Amerika Serikat. Keputusan Lung didasari atas rasa iba karena ketidakberdayaan ayah Chin, namun Chin sendiri melihat keputusan ini dengan nada negatif. Ketiadaan uang itu, membuat situasi masa depannya menjadi lebih runyam diantara masalah-masalah yang sudah dihadapinya. Juga, Chin sendiri tidak memiliki hubungan baik dengan ayahnya. Memang tidak ada dialog orang pertama, atau juga konflik langsung antara Chin dan ayahnya. Perlakuan abusif ayahnya itu justru diketahui dari cerita Gwan, yang mengisahkan bahwa saat masih sekolah tubuh Chin sering terlihat lebam karena menerima kekerasan dari ayahnya. Namun, terdapat satu adegan di mana tergambar melalui impresi tentang relasi keduanya. Impresi yang terlukiskan dengan sublim menggunakan benda-benda domestik.
Ketika Lung, ayah dan Chin sedang santap malam di meja makan sambil berbincang ramai, sendok milik ayahnya jatuh tanpa sengaja dan tidak disadarinya. Chin yang melihat itu hanya menatap tanpa ingin mengambilkannya. Ayahnya yang ingin kembali makan lalu mencari kemana sendok miliknya pergi. Ketimbang mencari di bawah meja, dia sekilat mengambil sendok yang ada di hadapan Chin, tanpa mengucapkan kata-kata apapun padanya. Tindakannya ini dibalas dengan tatapan masam, dan Chin lalu mengambil sendok yang jatuh dan meletakkan di atas meja depannya. Adegan ini direkam dengan sederhana menggunakan bidikan sedang berbalas, namun memiliki dampak yang besar; menunjukkan betapa ayahnya tidak memiliki pertimbangan terhadap eksistensi Chin yang ada hadapannya. Dan bagi Chin sendiri, menunjukkan kebenciannya terhadap ayahnya, yang juga menjadi dasar mengapa dia memutuskan pindah dan tinggal sendirian, menjauh dari keluarganya. Emosi yang kuat itu, dengan sangat baik diungkapkan hanya menggunakan media sendok yang jatuh dari meja makan.

Susunan adegan sendok jatuh
Kisah Taipei
Selain perkara waktu yang menubuh dalam tokoh-tokoh, Waktu juga menjejak dan menjadi persoalan dalam latar kota Taipei Story. Menariknya gagasan terhadap waktu yang menjejak ini tidak dikisahkan mandiri, namun berparalel dengan kisah keseluruhan film sehingga sejalan tentang gagasan dua bingkai waktu yang direpresentasikan oleh Chin dan Lung. Taiwan memiliki sejarah panjang kolonialisme dan kependudukan politik. Sejak abad 20 berada di tangan Dinasti Qing, lalu beralih kuasa ke tangan Kekaisaran Jepang, hingga menjadi muara pelarian simpatisan KMT (Kuomintang) setelah Perang Dunia Kedua. Taipei adalah sebuah kota yang diseret oleh zaman, di mana tiap-tiapnya memiliki wajah. Masing masing wajah zaman itu terlacak di dalam bentuk arsitektur kota. Terdapat bangunan yang berasal dari zaman pendudukan Jepang (rumah Lung) juga bangunan-bangunan lampau yang terlihat lusuh, namun tidak diberikan informasi spesifik periode kelahirannya. Bangunan tersebut sangat kontras dengan keberadaan struktur modern yang memiliki fasad kaca mengkilap dan menjulang tinggi.

Kontras dua fasad
Keputusan naratif bahwa Chin bekerja di firma arsitektur bisa dibaca terkait dengan jejak zaman kota itu. Firma arsitektur tempat Chin bekerja sudah melakukan bermacam projek pembangunan di berbagai sudut kota Taipei. Dalam sebuah adegan kontemplatif, Chin berbicara dengan kawannya seorang arsitek di firma itu, sembari kamera dari ruang jendela kantor atas menunjuk ke arah kota Taipei di bawahnya. Kawannya berkata dia tidak lagi mengenali bangunan mana yang dia rancang karena semua bangunan di kota itu sudah terlihat sama. Lanskap kota terlihat seragam karena arsitektur dari masa lampau sudah tergantikan dengan yang baru. Dengan demikian, bingkai waktu yang mengarah ke masa depan antara Chin dan Taipei berparalel. Pekerjaannya berhubungan langsung dengan rekonstruksi wajah kota Taipei. Wajah yang tentu sesuai dengan visi Taipei sebagai kota modern dan maju, yang mana sejalan pula dengan bingkai waktu Chin sebagai tokoh di film, yang ingin keluar dari kelampauannya.
Sebaliknya, toko milik Lung dan ayah Chin berada di deretan bangunan-bangunan tua di salah satu sudut kota Taipei. Di salah satu adegan menjelang akhir durasi film, ketika ayah Chin duduk mabuk bersama Lung di malam hari di trotoar jalan depan depan bangunan tua sekitar toko miliknya, ayah Chin menceritakan betapa lanskap kota sudah banyak berubah dan keadaan sekarang tidak lagi sama dengan dulu. Di adegan selanjutnya, Edward Yang dengan sangat elok membidik deretan gedung-gedung tua itu. Melalui paparan sinar lampu kendaraan, fasad bangunan terlihat temaram dan bayangan yang bergerak mengikuti sinar kendaraaan memberikan semacam nyawa dalam denyut akhir hidupnya. Sebuah requiem tentang kelampauan, yang detak nyawanya perlahan memelan dan fisiknya akan tergantikan dengan struktur yang baru. Pemandangan bangunan tua ini kontras betul dengan situasi malam Taipei modern di pusat kota yang dipenuhi lampu neon iklan merek dan produk komersial. Edward Yang mendedikasikan beberapa adegan khusus untuk memperlihatkan betapa kemilaunya malam di Taipei modern. Di satu titik, kemilau ini lalu berparalel dengan kisah Chin, seperti pada adegan perayaan ulang tahun di sebuah gedung tidak berpenghuni yang ditempati anak-anak muda kawan dari adik Chin, dimana cahaya neon Fujifilm masuk ke dalam ruang ‘domestik’ mereka.

Fasad bangunan tua tersorot lampu kendaraan

Kemilau cahaya neon yang masuk ke dalam ruangan
Sebuah Televisi di Trotoar
Edward Yang tidak memberikan titik tengah dalam menentukan konklusi terhadap konflik waktu di Taipei Story. Posisinya jelas: bahwa yang lama, lampau dan usang hanya akan menunggu waktu untuk mati dan tergantikan. Keputusan yang bisa dibilang kejam namun pragmatis juga tidak memberikan ruang sentimental terhadap kenyataan yang dipresentasikannya. Terdapat dua adegan ‘kematian’ di akhir film: kematian tokoh dan kematian lanskap.
Di pucuk kisah, Lung menemui akhir durasi hidupnya setelah berkelahi di sebuah jalanan kosong pada malam hari. Adegan kematiannya pun menunjukkan satu susunan ‘magis’, sebuah ode terhadap masa lalu yang menetap abadi di dalam jiwa individu yang menolak untuk melepaskannya. Sesaat Lung sadar bahwa perutnya telah ditikam, dia duduk di trotoar dan melihat sebuah televisi tua yang terbuang di sampingnya. Umum dalam sebuah film menggunakan kilas balik ketika sebuah tokoh berada di penghujung hidupnya, yang tidak umum di film ini adalah bagaimana kilas balik itu dilogiskan menggunakan sebuah media, objek yang hadir di sekitar tokoh itu. Layar kaca memberikan pantulan imaji; bukan imaji aktual dirinya, tapi imaji ketika dia memenangi kompetisi baseball saat masih remaja. Kamera tidak serta merta langsung mengarahkan penonton pada imaji subjektif, namun konsisten tetap berada netral sebagai pengamat di sudut ketiga. Penggunaan televisi pun, dalam konteks struktur cerita juga konsisten dengan kisah Lung dalam upayanya menggapai masa lalu. Sejak awal film, kita diperlihatkan dengan hobi Lung menyaksikan tayangan baseball di televisi. Di adegan ini, Lung kembali menyaksikan pertandingan baseball, namun yang dilihatnya adalah bayangan dirinya dari masa lalu.

Televisi di atas trotoar

Chin di dalam gedung kantor baru
Sebaliknya, Chin menemukan masa depannya dengan kembali bekerja bersama bos lamanya. Sebuah ruang perkantoran kosong yang akan dijadikan kantor cabang dari perusahaan teknologi Amerika Serikat. Bos-nya ini lalu berbicara tentang kesempatan bekerja di Taipei: “Semua orang pergi ke California Selatan, padahal di sini pun baik. Sekarang perusahaan Amerika Serikat yang mendatangi kita, kenapa harus pergi ke sana?”. Sebuah kenyataan kapitalisme di mana perusahaan multinasional mendatangi negara lain demi penetrasi pasar, yang mendorong pertumbuhan ekonomi, lalu menciptakan perkantoran baru, dan dalam prosesnya mengubah gedung-gedung lama menjadi bangunan perkantoran modern. Sebuah proses alamiah dalam perubahan lanskap kota. Kisah yang terjadi tidak hanya di Taipei, tapi juga di banyak kota-kota besar di Asia