Imaji pertama adalah seorang anak yang harus melakukan operasi amputasi kaki tanpa bantuan anestesi karena hampir seluruh fasilitas rumah sakit lumpuh akibat serangan udara militer israel. Imaji selanjutnya, yang hadir setelah iklan jam tangan, adalah seorang wartawan bernama Wael Al-Dahdouh yang sedang amat dalam berduka karena kehilangan seluruh anggota keluarganya juga akibat serangan udara militer israel. Berturut-turut, dalam kontradiksi dan absurditas visual antara satu dengan yang lainnya imaji datang ke hadapan mata; tragedi kemanusiaan di Palestina, iklan-iklan produk, demonstrasi pro-Palestina di berbagai negara, unggahan dari kawan tentang kesehariannya, lalu kembali ke imaji dari Palestina, seluruhnya dalam satu rangkaian durasi tatapan.
Kontradiksi antara satu imaji dengan imaji lainnya, yang kita tatap melalui gawai menciptakan paralelitas peristiwa; bahwa dalam di waktu yang sama di saat kita menatap gawai itu, terjadi peristiwa lain yang juga sedang berlangsung. Imaji tentang pengeboman di sebuah sekolah di Gaza berkontradiksi dengan imaji keseharian kawan yang dia unggah dan masuk ke dalam lini masa sosial media. Imaji-imaji melesak masuk dalam rajut algoritma bersama dengan apa-apa rutin kita lihat. Sosial media menciptakan linearitas baru terhadap kenyataan kiwari yang kita alami, yang berada di jarak aman dengan peristiwa genosida di Palestina.
Penjajahan menciptakan imaji-imaji yang serupa; imaji yang menegaskan upaya posisi mereka terhadap hegemoni pada penduduk dan tanah. Sejak tragedi Nakba 1948 hingga peristiwa penyerangan lima bulan terakhir, imaji dari Palestina tidak lepas dari kekerasan, pengusiran dan pembantaian terhadap penduduk Palestina. Sebelum temuan kamera ponsel, imaji-imaji tersebut umumnya diproduksi oleh operator kamera, sineas, juga jurnalis. Tayangannya dilokalisir dalam medium khusus seperti film, surat kabar, ataupun berita televisi. Kamera ponsel memungkinkan semua orang–termasuk korban–bisa memproduksi imaji, disebarkan melalui platform pesan singkat dan kanal sosial media, mendatangi kita yang berada di jarak aman, tersebar dalam satu sentuhan gestur jari melalui gawai genggam. Kebenaran tidak lagi hanya 24 bingkai per detik, namun 24 megabit per detik.
Gestur juga mengawali produksi imaji, dan tiap gestur dilandasi gagasan. Tindakan perekaman adalah gestur spontan untuk mendokumentasikan kenyataan lokasi di hadapan mata korban. Lensa kamera ponsel menjadi ekstensi retina bagi orang-orang di luar wilayah Palestina untuk melihat dari sudut pandang orang pertama kekejaman yang terjadi terhadap mereka. Gestur perekaman tidak hanya berada dari satu titik; sebuah roket yang meledakkan rumah sakit di Gaza dapat dilihat dari titik yang berbeda dengan urutan waktu yang linear. Mulai dari saat roket itu masih berada di udara, saat roket itu meledak dan dampak dari roket itu terhadap bangunan dan warga sipil yang berada di dalam dan sekitar rumah sakit. Untuk pertama kalinya, sebuah perekaman peristiwa genosida dilihat dari dari sudut mata korban dan disiarkan secara langsung, seperti tayangan olahraga. Serupa dengan yang dikatakan oleh Blinne Ní Ghrálaigh, pengacara hak asasi manusia dalam gugatan terhadap kejahatan yang dilakukan israel di Palestina di Pengadilan Mahkamah internasional: “peristiwa genosida pertama dalam sejarah yang disiarkan secara langsung oleh korbannya”.
Imaji-imaji tersebut adalah imaji yang direkam secara spontan, karena subjek perekamannya setidaknya menunjukkan bahwa imaji itu terbentuk tanpa konstruksi; gestur korban adalah intensi yang seketika. Namun, imaji dari Palestina adalah imaji yang dikonstruksi eksternal dari luar bingkai rekaman, yang pengarahnya tidak terlihat dalam tangkapan kamera korban; yaitu ideologi kolonialisme Barat dengan bendera baru bernama Zionisme, lobi-lobi israel di Amerika Serikat dan industri produksi dan kontraktor senjata global. Imaji yang memperlihatkan kenyataan anak-anak Palestina yang menjadi korban serangan bom fosfor putih, imaji puing bangunan sekolah, pemukiman dan rumah sakit yang hancur akibat serangan udara, dan tangisan orang tua yang menyaksikan keluarganya meninggal, adalah imaji yang kenyataannya dikonstruksi secara sistematis sejak bertahun-tahun oleh tangan-tangan korporasi dan negara-negara pendukungnya yang turut membiayai kolonialisme israel. Imaji dari Palestina adalah imaji yang dikonstruksi sistematis oleh senjata, peluru dan roket.
Sebagai suara dari sudut pandang orang pertama, imaji dari Palestina adalah suara aktif yang berbicara langsung terhadap apa yang pelaku telah lakukan dan apa dampaknya pada korban. Posisi suara aktif dari sudut pandang orang pertama ini, ketika diberitakan melalui kanal media Barat, direduksi dan dipinggirkan dengan komposisi kata yang menghilangkan relasi antara pelaku dan korban. Reduksi ini sudah terlihat bahkan dari saat judul halaman berita. Dengan menghilangkan relasi antara pelaku dan korban, di mana peristiwa dikabarkan tidak utuh sehingga menihilkan keberadaan pelaku, tragedi yang dialami oleh penduduk Palestina seakan-akan adalah kejadian alami yang berlangsung tanpa adanya penyebab yang diketahui pasti. Saat mengabarkan meninggalnya Hind Rajab, The New York Times menuliskan dengan judul “Missing 6-Year-Old and Rescue Team Found Dead in Gaza, Aid Group Says”, dan CNN “Five-year-old Palestinian girl found dead after being trapped in car with dead relatives” yang lalu dikoreksi setelah dikecam sehari kemudian menjadi “Five-year-old Palestinian girl found dead after being trapped in car under Israeli fire”. Hind Rajab, bocah yang meninggal akibat serangan militer israel setelah terjebak di dalam mobil dituliskan seakan-akan hilang nyawa dengan sendirinya. Upaya reduksi kejahatan militer israel adalah dehumanisasi yang terus-menerus dilakukan terhadap penduduk Palestina, yang telah berlangsung jauh sebelum peristiwa 7 Oktober 2023, dan mencapai puncaknya saat ini, seiring dengan meningkatnya serangan militer israel ke penduduk Palestina. Hal ini turut memunculkan kecurigaan bahwa media-media besar Barat sedang melakukan disinformasi luar biasa untuk menciptakan fabrikasi restu terhadap serangan pada penduduk Palestina. Sehingga media-media besar Barat itu, berada dalam satu projek besar yang sama dengan industri senjata dan negara pendukung israel, yang turut menciptakan imaji kekerasan yang diproduksi di Palestina.
Imaji aktif dari sudut pertama juga diredam dalam bentuk penyensoran di media sosial, dan penyensoran juga berlaku pada konten yang menyatakan solidaritas pada penduduk Palestina. Laporan dari Human Rights Watch menyebutkan bahwa Meta, perusahaan teknologi pemilik Facebook dan Instagram, terbukti melakukan melakukan pembungkaman terhadap akun-akun yang memproduksi dan menyebarkan konten yang berisi imaji dari Palestina dan solidaritas terhadap Palestina. Pembungkaman dilakukan dalam bentuk penghilangan terhadap unggahan dan komentar dalam unggahan, pelenyapan akun pengguna, ketidakmampuan pengguna untuk berinteraksi dengan unggahan dan ‘shadow banning’; di mana unggahan akun terkait kehilangan daya jelajah algoritmanya dan tidak tersebar seperti unggahan umumnya. Pembungkaman berlangsung dalam preteks bahwa imaji atau teks yang diunggah adalah ‘konten berbahaya’, ‘ujaran kebencian’ dan ’konten kekerasan’. Media sosial lain seperti Twitter juga mendapat keluhan yang serupa, di mana banyak konten yang mengutuk israel dan mendukung Palestina dilaporkan mendapat tekanan yang sama.
Reduksi juga terjadi dalam bentuk produksi imaji dari sisi lain. Militer israel, baik instansi maupun tentaranya memproduksi imaji yang juga diunggah ke dalam sosial media. Imaji dari militer israel adalah imaji yang berupaya memperkuat justifikasi terhadap serangan ke Gaza, khususnya pada infrastruktur rentan seperti rumah sakit dan sekolah. Beberapanya adalah berupa manipulasi absurd seperti temuan buku Mein Kampf di sebuah kamar anak-anak dan gambar model 3D markas Hamas yang diduga berada di bawah rumah sakit Al-Shifa. Imaji yang diniatkan sebagai pembenaran, namun terlihat konyol seperti lelucon ketimbang bukti pembenaran. Produksi imaji yang demikian, juga menjadi preteks terhadap serangan ke infrastruktur yang seharusnya di luar dari target serangan. Jelas bahwa serangan militer israel tidak dilakukan hanya sekedar serangan balasan atas peristiwa 7 Oktober, atau pula tentang tawanan yang disandera Hamas, namun serangan ini adalah upaya pengusiran berkelanjutan dari Nakba 1948; menganeksasi wilayah Palestina seluruhnya menjadi wilayah israel, lalu pemusnahan dan pengusiran penduduk Palestina secara menyeluruh. Imaji-imaji itu bekerja sebagai imaji tandingan dari imaji aktif yang diproduksi penduduk Palestina; mereduksi penderitaan yang dialami penduduk Palestina dengan justifikasi bahwa penduduk Palestina–bahkan anak-anak sekalipun–turut bertanggung jawab atas serangan 7 Oktober. Penderitaan penduduk Palestina dianggap takdir yang pantas dan semestinya.
Imaji lain yang diproduksi dan dipublikasikan oleh instansi resmi militer israel adalah imaji yang jelas memposisikan diri sebagai pelaku pembantaian. Salah satu imaji yang sangat menyeramkan adalah imaji dari kamera kendaraan udara militer, di mana terlihat penduduk Palestina yang sedang mengalami kelaparan akibat pembatasan pengiriman bantuan, mengerubungi truk yang membawa bahan makanan. Imaji memperlihatkan penduduk Palestina dari posisi atas kejauhan, dengan karakteristik visual khas footage militer; warna pudar, grainy dan samar. Dalam imaji yang demikian, penduduk Palestina yang sedang kelaparan itu tidak terlihat seakan manusia. Imaji tersebut mereduksi atribut kemanusiaan dan menjadikannya seperti target tembak yang sedang diawasi dan hendak disasar oleh artileri. Footage tidak menampilkan aksi serangan, namun yang bisa diketahui adalah akibat dari serangan yang terjadi setelahnya. Lebih dari 100 penduduk Palestina meninggal dalam insiden yang saat ini disebut dengan ‘Flour Massacre’.
Setelah serangan roket dan artileri, tentara-tentara israel lalu masuk menuju ke wilayah serang. Tentara-tentara ini memproduksi imaji yang menunjukkan ‘keberhasilan’ penyerangan mereka di antara puing-puing bangunan dan penduduk Palestina yang ditangkap dan dibunuh. Imaji yang diproduksi menunjukkan motif terhadap serangan yang mereka lakukan; bukan sebagai upaya untuk membebaskan sandera yang ditahan Hamas, tapi untuk menganeksasi dan dehumanisasi penduduk Palestina. Di antara reruntuhan bangunan, salah satu tentara memuji pesisir Gaza yang telah hancur, berpose seakan sebagai agen properti, mengklaim bahwa dalam enam bulan ke depan pesisir tersebut akan dicaplok dan diisi oleh pemukim israel, dijadikan resort dan kafe. Imaji lain memperlihatkan tentara israel melakukan pelecehan terhadap perempuan Palestina, dengan gestur mengenakan pakaian dalam penduduk Palestina di rumah mereka yang telah hancur ditinggalkan. Dua imaji ini hanyalah contoh dari begitu banyaknya imaji yang diproduksi oleh tentara israel. Bagi korban, kematian dan kehancuran di Palestina, khususnya Gaza adalah akhir dari peradaban dan kehidupan, bagi pelaku, adalah pencapaian dan kebanggaan yang patut dirayakan dan awal dari kependudukan. Bahkan tanpa membaca pernyataan lisan petinggi israel terhadap penyerangan di Palestina yang mendukung pembantaian, yang jelas menunjukkan gestur pembantaian dalam intensi penyerangan, kontras antara imaji yang dihasilkan oleh pelaku dan korban menyiratkan intensi sebenarnya dari serangan yang dilakukan oleh militer israel.
*
Karya seni seperti teater, literatur dan sinema memungkinkan kita melihat langsung penderitaan dari sudut berbeda. Yang kita saksikan saat ini melalui gawai bukanlah fiksi dalam balutan seni, imaji dari Palestina adalah imaji sebenar-benarnya yang tidak merepresentasikan apapun kecuali kematian dan kehancuran di Palestina. Kematian tidak lagi direpresentasikan. Kematian, baik itu imaji dan subjeknya, menjadi nyata dan di mana-mana karena begitu cepat hadir di hadapan kita yang berada di jarak aman. Imaji yang diproduksi oleh korban mempu mempengaruhi, bahkan meradikalisasi siapa pun yang melihat karena meminimalisir sekat jarak sudut pandang yang dialami oleh korban di lokasi kejadian, dengan kita yang berada di jarak aman.
Dalam peristiwa kejahatan, umumnya pelaku menutupi proses tindakan kejahatan. Baik bukti maupun keterlibatannya disembunyikan pelaku karena ada beban konsekuensi terhadap kejahatan yang telah dilakukan, juga kesadaran bahwa yang telah dilakukannya itu salah dalam pertimbangan moral pribadi dan publik. Pembantaian yang dilakukan israel terjadi sebaliknya. Pelaku tanpa sungkan memamerkan kejahatan yang telah dilakukannya, bahkan merayakannya. Apa yang kita saksikan selama lima bulan belakangan ini adalah pucuk dari pembiaran tindakan kejahatan kolonialisme israel sejak pertama kali mereka menduduki Palestina di tahun 1948 hingga hari ini. Fakta bahwa israel, sebagai pelaku, tidak menutupi imaji kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan memberikan pandangan luar biasa getir terhadap bagaimana dunia internasional bekerja, bagaimana relatifnya moralitas diterapkan, bagaimana humanisme, etik, dan keadilan adalah taik besar ketika didengungkan khususnya oleh negara-negara Barat. Pengadilan Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa israel sedang dan telah melakukan genosida, namun, hingga tulisan ini ditulis di pertengahan bulan Maret 2024, tidak ada aksi dan intervensi apapun yang benar-benar menghentikan tindakan genosida. Imaji kekerasan terhadap penduduk Palestina masih diproduksi setiap hari.
*penulis sengaja tidak memakai kapital untuk menuliskan israel.