Skip to main content
Terbitan 2

TAIPEI;

EDWARD YANG

Pengantar

Pada satu malam di sekitar pusat kota Seattle akhir tahun 1970-an, seorang insinyur yang jenuh dengan rutinitas kerja hariannya melihat sebuah reklame di depan bioskop saat perjalanan pulang. Tertulis besar dalam reklame itu ‘German New Wave: Aguirre, the Wrath of God’, sebuah film karya Werner Herzog produksi tahun 1972. Penasaran, insinyur ini memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam bioskop. Setelah hampir dua jam berada di dalam, si insinyur keluar gedung dan merasa sebagai individu yang telah tercerahkan. Mimpinya sebagai pembuat film yang sudah dalam-dalam dikubur bergelora kembali karena film itu membangkitkan rasa kompetensi dan semangatnya untuk menjadi sineas, bahwa ternyata ada metode lain untuk membuat film. ”Seperti inilah film seharusnya dibuat. Bidikan-bidikan dalam adegan yang tidak ada dan tidak pernah diajarkan di sekolah film. Inilah satu titik balik penting dalam hidup saya”.

Edward Yang lahir di Shanghai, 6 November 1947. Keluarganya adalah simpatisan KMT (Kuomintang) yang ikut pindah ke Pulau Taiwan ketika Tiongkok Daratan dikuasai PKT (Partai Komunis Tiongkok). Mereka berasal dari kalangan kelas menengah; ayahnya bekerja di bank di Shanghai sebelum mereka pindah ke Taipei. Sejak kecil Edward Yang sudah terpukau dengan seni visual, musik, literatur dan arsitektur. Dia menelan banyak manga dengan kisah yang rumit, membaca novel Dr Zhivago juga Kisah Tiga Negara secara sembunyi-sembunyi. Ketertarikannya terhadap sinema juga tumbuh beriringan. Semasa kecil ayahnya sering mengajaknya nonton film koboi di bioskop lokal, film-film ‘serius’ dari Eropa seperti Robert Bresson, Jean-Luc Godard dan Federico Fellini juga bagian dari kesehariannya saat masih remaja. “Di tahun 1960-an, KMT banyak mengimpor film arthouse dari Eropa sebagai bagian dari kebijakan diplomatik kultural dan perdagangan dengan negara-negara sekutunya, itu sebabnya banyak film-film arthouse diputar di Taiwan masa itu”

Beranjak dewasa memaksanya memilih antara mengikuti keinginan hati atau menuruti saran orang tuanya. Sementara dia ingin menjadi sineas, orang tuanya yang lebih pragmatis memintanya untuk mengambil pendidikan di bidang teknologi sebagai insinyur. Setelah lulus sebagai sarjana di Taiwan, Edward Yang mengambil pendidikan lanjutan Teknologi Informasi di UF (University of Florida), bidang ilmu yang masih sangat baru saat itu. Walaupun sudah memiliki gelar master di bidang teknologi, keinginan untuk menggenggam cita-cita masih lah besar. Di tahun 1974, Edward Yang putar haluan untuk berkuliah jurusan film di USC (University of Southern California), keputusan yang dianggap gila oleh profesornya di UF. Namun apa yang didapatkannya tidak sesuai harapan. Edward Yang hanya tahan satu tahun, dia menganggap dunia film tidak sesuai dengan yang dibayangkannya karena corak sinema yang diajarkan terlalu komersial dan berorientasi pada wacana arus utama. Kecewa, dia lalu pindah ke Seattle, bekerja sebagai insinyur di sebuah perusahaan komputer. Mengingat masa-masa saat masih di Seattle, Edward Yang berujar “Semua kawan-kawanku saat bekerja di Seattle dulu sudah jadi miliarder, Kalau bukan karena (Werner) Herzog, saat ini saya sudah kaya raya!”.

Didorong oleh determinasi menggebu-gebu dan kebetulan diminta temannya untuk membantu menulis naskah sebuah film, Edward Yang pulang ke Taiwan di awal 1980-an. Seluruh keluarganya sudah tinggal di Amerika Serikat dan dia menempati rumah kosong yang diwariskan keluarganya; sebuah hunian tua peninggalan kolonial Jepang di sudut Taipei. Rumahnya ini lalu menjadi tempat berkumpul kawan-kawannya; sesama sineas, penulis, aktor dan seniman lainnya. Beberapa nama yang dikenali adalah: Wu Nien-jen, Hou Hsiao-Hsien, Chu Tʽien-wen dan Po-Chih Leong. Nama terakhir dianggap Edward Yang sebagai “mentor dan sekolah film berjalan yang kudatangi untuk menebus waktu yang telah terbuang”. Perkumpulan inilah yang menjadi embrio Sinema Baru Taiwan. “Semua orang berkumpul di rumahku; nongkrong, minum, bercengkrama.. Kamu hanya perlu buka pintu rumah saja untuk masuk. Kita kerja bersama-sama, semuanya ingin melakukan hal yang sama. Tidak ada yang memberi kami uang, tapi kami semua saling berbagi kesamaan idealisme.” Solidnya mereka diperlihatkan dari bagaimana mereka saling membantu di tiap projek masing-masing; Edward Yang menjadi aktor di film Hou Hsiao-Hsien A Summer at Grandpa’s (1984), Wu Nien-jen dan Chu Tʽien-wen adalah penulis, mereka berkontribusi dalam penulisan di film-film Edward Yang dan Hou Hsiao-Hsien seperti Yang That Day, on the Beach (1983), Yi Yi (2000) dan A Time to Live, a Time to Die (Hou Hsiao-Hsien, 1985). Wu Nien-jen juga menjadi aktor di Yi Yi dan Taipei Story (1985). Sementara Hou Hsiao-Hsien menjadi aktor di film Edward Yang That Day, on the Beach dan Taipei Story. Di film yang disebutkan di akhir dia juga ikut membiayai produksi film dengan menggadaikan rumahnya. Antara Hou Hsiao-Hsien dan Edward Yang seakan sudah memiliki persetujuan terhadap fokus wilayah yang mereka dikisahkan; Hou Hsiao-Hsien pada gambaran Taiwan yang profisial, sementara Edward Yang tentang kehidupan urban di kota Taipei kontemporer.

Sinema Baru Taiwan merupakan reaksi atas banyak hal: kejenuhan terhadap sinema komersil Taiwan saat itu, reformasi undang-undang film oleh pemerintah, kondisi politik dalam negeri yang opresif, kemunculan Gelombang Baru Hong Kong yang menjadi inspirasi di akhir 1970-an, dan dorongan anak-anak muda untuk mengungkapkan kondisi kontemporer Taiwan saat itu. Bagi Edward Yang sendiri, Sinema Baru Taiwan adalah reaksi politis di mana faktor utamanya adalah titik terendah posisi diplomatik Taiwan (Republik Tiongkok) saat Amerika Serikat—sekutu utama Taiwan—mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai pemerintahan yang sah di Tiongkok Daratan di tahun 1979. “Pengakuan itu membuat kepercayaan diri rakyat Taiwan jatuh. Namun di sisi lain, bagi generasiku—anak-anak muda saat itu—ini menjadi titik tinggi kami, karena mendorong kami untuk saling percaya dan mengandalkan satu sama lain… ada begitu banyak energi kreatif yang meledak karena hancurnya aturan-aturan lampau”

Aspek Rasio edisi kedua membahas khusus tentang Edward Yang. Berbeda dengan edisi sebelumnya yang menengahkan topik pada satu film, kali ini pilihan film yang dibahas beragam, namun fokus pada satu figur itu. Terdapat tiga tulisan; dua membicarakan pola referensi representasi dan estetika dan terakhir khusus mengulas salah satu filmnya, Taipei Story (1985). Pilihan mengapa memilih Edward Yang sebagai tajuk karena selain penulis sudah akrab dengan karya-karyanya, jalur terjang Edward Yang untuk menjadi sineas tidak tipikal. Seperti proses pencarian kebenaran spiritual, dia menempuh berbagai tahap pencarian sebelum menemukan jenis sinema apa yang dikejarnya, melepaskan karir di bidang yang saat itu sedang tumbuh pesat untuk sesuatu yang betul-betul dipercayainya. Walaupun sempat setahun belajar di sekolah film, dia mengakui kalau segala yang dipelajarinya tentang film didapat dari artikulasi subjektif, menonton film dan berdiskusi dengan kawan-kawannya. Seorang seniman pemberontak yang mencari cara-cara baru dan menolak pembuatan karya seni dengan cara umum dan komersial.

Tulisan pengantar ini disarikan dari buku dan wawancara yang dilakukannya di berbagai majalah diantaranya: CineAction 47: Anything but Hollywood, 1998. Cineaste Vol. 26, No. 1, 2000. New Left Review 11, September–October 2001 dan buku Contemporary Film Directors: Edward Yang oleh John Anderson, 2005.

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO