Skip to main content

Di ranah ekspresi seni, lanskap kota telah mengilhami seniman dari berbagai medium dan zaman. Begitu banyak potensi yang bisa diutarakan dari sebuah lokasi di mana hingga jutaan manusia bergerak, berkumpul dan tinggal di satu wilayah yang sama. Dalam dunia seni rupa, kita mengenal nama seperti Gustave Caillebotte yang menangkap arena perkotaan Paris pasca revolusi urban Haussmann di pertengahan abad 19. Paris dalam sapuannya adalah kota yang memiliki wajah baru, yang telah meninggalkan façade peninggalan Eropa zaman Pertengahan. Permainan perspektif serta geometri dalam lukisannya mengikuti cetak biru kota dari Haussmann yang teratur, rigid dan tajam. Seniman lain yang juga mengeksplorasi kehidupan kota adalah Edward Hopper, yang menangkap keadaan kota New York pada periode Mid Century. Jika Caillebotte banyak menekankan pada gambaran kolektif di perkotaan, maka kota dalam Hopper adalah kota yang melihat ke dalam jiwa individu-individu Amerika Serikat modern, yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan politik saat itu. Figur manusia terlihat kontras bila dibandingkan dengan skala bangunan yang megah nan tinggi menjulang.

Paris Street; Rainy Day (Gustave Caillebotte, 1877) dan New York Office (Edward Hopper, 1962)

Sementara, di medium film sendiri lanskap perkotaan umum digunakan sebagai bagian dalam latar kisah sejak era sinema bisu hingga kontemporer dalam berbagai genre. Kondisi alamiah kota yang menghimpun beragam wajah manusia dari berbagai lokasi dan kelas, membuatnya potensial dalam membicarakan eksistensi, identitas maupun dislokasi yang terjadi pada individu-individu yang dikisahkan, juga permasalahan sistemik yang lebih besar yang mereka hadapi ataupun kelompok individu tertentu. Karenanya, beberapa sineas menjadi terikat dan identik dengan kota spesifik dalam film-film ciptaannya; Aki Kaurismäki dengan Helinski, Wong Kar Wai dengan Hong Kong, Shirley Clarke dengan New York dan Teguh Karya dengan Jakarta.

Taipei; Edward Yang

Edward Yang identik dengan Taipei. Seluruh film Edward Yang mengambil latar utama di kota tersebut. Bidikannya yang tenang, statik dan sabar kontras dengan apa yang kamera itu tangkap; kota besar yang memiliki tempo cepat, hiruk-pikuk di antara gedung bertingkat dan kemilau cahaya neon di malam hari. Taipei yang dihadirkannya adalah kota yang sedang mengalami percepatan ekonomi kapitalisme periode 1980-an hingga tahun 2000. 

Seluruh film-filmnya berlatar Taipei kontemporer saat itu kecuali A Brighter Summer Day (1991). Film panjang pertamanya That Day on the Beach dibuat tahun 1983, dan karya terakhirnya Yi Yi di tahun 2000. Jika kita dirunutkan berdasar kronologi waktu kota Taipei, bukan dari tahun pembuatannya, maka Edward Yang sesungguhnya merekam Taiwan dalam tiga periode yang berbeda. Diawali dengan A Brighter Summer Day, Taipei dalam ingatan, sejarah personal. Disorientasi anak-anak muda yang jejak identitas tercerabut dari kultur akar mereka di Tiongkok Daratan, lalu mengadopsi identitas kultur pop Barat (Amerika Serikat) dan diterimanya sebagai hal yang otentik. Walaupun kita tidak melihat gedung-gedung tinggi dan fasad kaca yang menjadi karakteristik Taipei di film Edward Yang nantinya, namun benih-benih kosmopolitan dan watak modernitas terlihat di film ini. A Brighter Summer Day berasal dari kisah nyata pembunuhan remaja yang terjadi saat Edward Yang masih berumur 13 tahun. Kumpulan geng anak-anak remaja dan konflik-konfliknya adalah mikrokosmos dari konflik politik yang lebih besar; antara sang ayah dengan pemerintah setempat, antara Taiwan dengan Tiongkok Daratan. Serupa dengan yang dikatakan salah satu tokoh di film bernama Honey (Hung-Ming Lin) bahwa konflik antar geng yang mereka alami sebenarnya tidak banyak beda dengan Perang Napoleonic yang diceritakan di novel Leo Tolstoy. A Brighter Summer Day bisa dikatakan projeknya yang paling ambisius karena selain durasinya yang hampir empat jam, film ini lahir dari pertanyaan besar tentang identitas Taipei di masa depan; reunifikasi atau tetap berjuang untuk merdeka?

A Brighter Summer Day (1991)

Taipei periode 1980-an direpresentasikan dalam tiga film: That Day on the Beach, Taipei Story (1985) dan Terrorizers (1986). Ketiga film itu menggambarkan Taipei sebagai kota besar yang mulai menapaki dirinya sebagai kota modern dan kosmopolitan. Memiliki lapisan kelas menengah yang kuat, namun mereka-mereka dihinggapi ketidakberdayaan terhadap pertanyaan-pertanyaan diri; mengenai pekerjaan, rutinitas dan kebingungan terhadap kenyataan urban yang dihadapinya. Melihat cara Edward Yang memperlakukan dan membentuk tokoh-tokohnya, kita bisa mudah melacak jejak Michelangelo Antonioni, salah satu sineas yang Edward Yang kagumi, di mana karakter dalam filmnya juga mengalami permasalahan yang hampir serupa.

Biarpun demikian, masing-masing film itu tidak seragam dalam merelasikan Taipei sebagai lokasi aktual dan Taipei sebagai lokasi naratif. That Day on the Beach; seorang pianis klasik, Tan Weiqing (Terry Hu) kembali ke kota Taipei setelah bertahun-tahun belajar dan mengadakan konser keliling di Eropa dan Jiali (Sylvia Chang), perempuan yang tinggal di pinggiran kota, kabur ke Taipei untuk tinggal bersama pasangannya. Taipei di sini hadir melalui rekoleksi ingatan dua perempuan tokoh utama itu. Taipei yang subjektif, Taipei sebagai angan-angan, mimpi dan pengalaman buruk yang pernah mereka alami. Taipei dalam Taipei Story hadir lebih kompleks karena tidak hanya beroperasi sebagai latar belaka. Seperti judulnya Taipei Story mengisahkan kisah paralel ruang dan waktu antara tokoh dan kota Taipei. Tegangan antara lampau dan kontemporer, di mana keduanya saling bergumul untuk menemukan tempatnya di antara sudut sempit kota Taipei. Taipei dalam Terrorizers adalah Taipei yang paling berbeda dibandingkan seluruh film Edward Yang lainnya, karena Taipei di sini menihilkan ingatan dan sejarah, yang berarti keberadaan urban serta lanskapnya tidak terikat dengan dengan politik dan masa lalu, baik itu dalam konteks subjektif maupun objektif. Lanskap hadir dalam konteks aktual dan fiksional. Terrorizers fokus pada kehidupan individu-individu yang hidup dalam kotaknya masing-masing dan dibuat bersinggungan karena runutan kejadian-kejadian yang tidak disengaja.  Mengutip Emilie Yueh-yu Yeh dalam bukunya Taiwan Film Directors: A Treasure Island:”…konstruksi naratif film yang berkelindan benar-benar mengikuti konteks urban, dan ini sejalan dengan konsep ruang paska-modern, mengandaikannya semacam urutan kotak-kotak yang menutup, memisah dan mengisolasi apa-apa dalamnya. Di sisi lain, batas-batas itu justru memungkinkan terjadinya pertemuan-pertemuan yang tidak diduga”. 

Terrorizers (1986)

Taipei dalam imaji periode 1990-an dan awal 2000-an adalah kota kosmopolitan dalam bentuk yang paling mutakhir. Kota di mana tiap-tiap kelas sosial dan warga mancanegara juga mencari kesempatan dan berbagi ruang yang sama, yang mana terlihat di Mahjong (1996), A Confucian Confusion (1994), dan Yi Yi (2000). Khusus film yang terakhir disebutkan, Edward Yang kembali memberikan konteks kelampauan, tidak dalam bentuk fisik dan universal seperti yang dilakukannya di Taipei Story, namun dalam bentuk representasi ketokohan, yang berarti, kelampauan ini beroperasi subjektif, berada dalam ingatan juga imajinasi akan ingatan tersebut. NJ (Wu Nien-jen) dan Sherry (Su-Yun Ko) saling menemui di Jepang. Sebagai orang dewasa yang masing-masing sudah memiliki keluarga, keduanya bertemu tidak sebagai kekasih gelap, namun untuk menuntaskan konflik hati mereka yang pernah saling berlabuh dan belum tuntas lepas sauhnya. Mereka membawa ingatan Taipei ke Jepang; mengingat kisah mereka saat remaja dengan lanskap kota yang berbeda, merunut tempat-tempat apa yang pernah mereka singgahi dulu dan berandai-andai bahwa mereka sedang berada di tempat tersebut. Ingatan yang direkonstruksi ulang namun dengan kenyataan aktual yang berbeda. Omong-omong, Su-Yun Ko hanya tampil dua kali dalam film Edward Yang: Yi Yi dan Taipei Story. Di keduanya dia berperan sebagai kekasih masa lalu tokoh utama pria. Dan di kedua film itu pula Jepang menjadi tempat mereka rendezvous

Trajektori Vertikal

Pendekatan realisme yang diusung Edward Yang tidak terbatas pada bagaimana dia menggunakan latar kota Taipei seperti yang dituliskan di atas. Dalam lingkup yang lebih kecil, satu hal yang membuat sinema Edward Yang begitu distingtif adalah penggunaan objek-objek dalam filmnya. Objek itu dapat berfungsi sebagai pengait antara tokoh dan alur narasinya, pula digunakan secara puitik yang terhubung dengan kejadian dan keadaan internal di tiap karakternya. Objek tersebut eksis alamiah dalam latar peristiwa, yang keberadaannya tidak asing dalam milieu tempat tokoh itu ada, lalu mengorbit dalam lintasan konstruksi linear naratif. Mereka bukanlah bagian krusial yang mengendalikan plot atau naratif, seperti bedil chekhov atau macguffin (walaupun dalam beberapa film Edward Yang juga menggunakan bedil chekhov, seperti objek belati pada A Brighter Summer Day) namun menjadi detail penting yang melogiskan keterhubungan manusia dan lingkungannya pada sebuah peristiwa. Sebagai contoh, dalam Terrorizers, objek itu adalah telepon dan kamera foto, benda yang menjadi katalis dari seluruh konflik tokoh-tokohnya. Sementara di A Brighter Summer Day, Edward Yang menggunakan lampu senter dan bola basket sebagai penghubung antara beberapa peristiwa yang nantinya memuncak menjelang akhir. 

Telepon dan kamera  di Terrorizers

Senter dan bola basket di A Brighter Summer Day

Dalam konteks lanskap urban yang dibahas di catatan ini, objek yang perlu diberi perhatian adalah lift, benda yang umum ada di bangunan vertikal perkotaan, entah itu hunian maupun perkantoran. Tidak ada yang istimewa dari lift dan siapapun yang menggunakannya; sebuah benda yang membawa manusia ke lantai berbeda di bangunan yang sama, di mana individu masuk silih berganti dan pertemuan terjadi tanpa rencana dan tidak disengaja. Lift memiliki ruang, dan spasialitas selalu menjadi obsesi Edward Yang. Namun Edward Yang dengan genial dan konsisten menggunakannya sebagai objek dan ruang di dalamnya di mana ketidakterdugaan pertemuan itu menjadi awal—juga akhir—konflik dan dramatik, seperti tirai dalam panggung teater. 

Ada tiga film yang menjadi sorotan: Yi Yi, A Confucian Confusion dan Taipei Story. Seluruhnya menjadi latar pada adegan konflik antara kekasih; perpisahan yang melahirkan hubungan yang baru di A Confucian Confusion, keretakan cinta di Taipei Story dan nostalgia cinta lama di Yi Yi

Dalam A Confucian Confusion, ruang dalam lift digunakan sebagai tempat perjumpaan antara Qiqi (Chen Shiang-chyi) dan Ming (Weiming Wang). Pertemuan formal antara individu yang sebelumnya pernah menjadi kekasih. Dialog yang canggung dan emosi yang tertahan; jarak-jarak di antara keduanya dalam ruang sempit serta durasi pertemuan yang diregulasikan oleh buka-tutup pintu lift. Edward Yang menggunakan tempo buka-tutup itu sebagai sekat juga sebagai pemersatu mereka. Ada beberapa hal yang membuat adegan ini bekerja dengan sangat baik dan hanya bisa dilakukan di dalam lift; tidak ada cut sepanjang adegan berlangsung, kamera yang tetap berada di dalam lift sehingga kedalaman ruang sepenuhnya dikendalikan oleh tempo buka-tutup pintu. Emosi antar keduanya yang tidak diinterupsi oleh perpindahan sudut ambilan yang tidak perlu, karenanya terlihat kontras emosi sesaat ketika pintu terbuka, tertutup dan terbuka kembali. 

Adegan lift A Confucian Confusion

Dalam Yi Yi, buka tutupnya pintu lift adalah awal dari drama film ini. NJ bertemu Sherry pertama kali di depan lift saat dia menunggu masuk bersama anaknya. Lift menghubungkan tidak hanya ruang tapi juga ingatan tentang masa lalu mereka sebagai kekasih. Dalam sebuah video esai tentang sinema Edward Yang yang dipublish oleh akun Screen 4 di Youtube, cukup jeli menjelaskan perubahan gestur yang dialami oleh NJ. Reaksi saat bertemu Sherry, yang ditandai dengan mengatupkan tangan ke dadanya, mengindikasikan perubahan posisi emosi tentang masa lalu yang tidak ingin dibuka. Sherry lalu menghardik NJ, mempertanyakan keputusan yang dia ambil di masa lalu. Adegan ini secara lihai diinterupsi oleh Edward Yang dengan memasukan satu tokoh, yaitu rekan kerja NJ, yang juga kerabat dari Sherry. Tokoh ini pun hadir pula dengan menggunakan lift, menjadikan keseluruhan adegan dramatik ini menjadi satu lingkaran penuh dimana konflik dan resolusinya diselesaikan melalui pintu yang sama.

Adegan lift di Yi Yi

Bila dibandingkan dengan dua contoh di atas, Lift dalam adegan di Taipei Story berbeda fungsi dan kegunaannya. Adegannya ketika Lung (Hou Hsiao-Hsien) bertengkar hebat dengan Ling (Tsai Chin). Lung memencet tombol lift untuk keluar dari rumah Chin, dan Chin datang membujuk Lung untuk tidak meninggalkannya. Karena tidak kunjung terbuka, Lung lalu turun menggunakan tangga dan pintu lift terbuka dan menutup sesaat Lung dan Chin sudah tidak berada di depan lift. Yang membuat adegan ini terlihat mengesankan adalah betapa alamiahnya peristiwa berjalan. Keseluruhan adegan berdurasi sekitar 20 detik, tanpa potongan dengan kamera berada di posisi lebih tinggi dari mereka. Dan selama waktu itu, Edward Yang melakukan kalkulasi waktu yang sempurna antara blocking, durasi gerak tokoh dan momen buka-tutup lift yang menjadi penutup adegan. Blocking dan timing yang pas itu menambah elemen dramatik dalam konflik antara Lung dan Chin. Kekosongan dari lift yang kosong tidak diisi, memberikan resonansi antara hubungan percintaan mereka berdua.

Adegan lift di Taipei Story

Politik Taiwan dan Tiongkok Daratan

Sinema Edward Yang, atau dalam lingkup yang lebih besar yaitu Sinema Baru Taiwan juga bermakna politis, khususnya dalam pertarungan kedaulatan antara Taiwan dan Tiongkok Daratan. Sejarah identitas Taiwan (atau Republik Tiongkok) adalah nasionalisme yang berusaha melepaskan diri dari Tiongkok Daratan, menjadi berdaulat dan diakui. Konflik antara KMT (Kuomintang) dan PKT (Partai Komunis Tiongkok) memuncak menjadi perang saudara setelah usainya Perang Dunia 2, membuat KMT dan simpatisannya terusir dari Tiongkok Daratan. Pengakuan terhadap kedaulatan menjadi genting setelah klaim Satu Tiongkok oleh PKT, di mana klaim ini menihilkan entitas legal nasionalisme Tiongkok di luar dari RRT (Republik Rakyat Tiongkok), sehingga menyatakan bahwa Taiwan (Republik Tiongkok) adalah bagian dari RRT dan kedaulatannya tidak diakui. Pengakuan kedaulatan Taiwan, yang awalnya didukung penuh khususnya oleh negara Blok Barat juga PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) lalu berbalik di tahun 1971, saat Resolusi Majelis PBB mencabut pengakuan Taiwan dan menerima RRT sebagai negara yang diakui secara de jure oleh PBB dan anggota-anggotanya. Hingga sekarang, hanya 12 negara yang mengakui kedaulatan Taiwan. 

Edward Yang dan kawan-kawannya dalam gerakan sinema baru mengisahkan bagaimana identitas ke-Taiwan-an ini dibentuk oleh budaya, ekonomi serta mentalitas yang berbeda dengan Tiongkok Daratan. Identitas yang penting, mengingat hampir seluruh sineas gelombang baru adalah generasi pertama penduduk Taiwan. Dalam dokumenter Flowers of Taipei (Chinlin Hsieh, 2015)—film yang melacak pengaruh Sinema Baru Taiwan di seluruh dunia—Wang Bing, Jia Zhangke dan Ai Weiwei mengutarakan beberapa opini yang menarik untuk diangkat. Mereka semua adalah seniman warga negara RRT dan mereka merefleksikan rangkaian peristiwa sejarah yang pernah terjadi di RRT dengan Taiwan untuk menjawab pertanyaan: mengapa film-film dari Taiwan pada periode yang sama sangat berbeda dengan RRT, dan mengapa sineas Generasi Kelima dari RRT seperti Chen Kaige dan Zhang Yimou gagal dalam memberikan gambaran kondisi sosio-politik yang otentik bila dibandingkan dengan sinema Gelombang Baru Taiwan di periode yang sama. Bagi Jia Zhangke, sineas yang seringkali menjadi wajah paling depan Generasi Keenam sinema Tiongkok Daratan, Revolusi Kultural yang terjadi pada periode 1960 dan 1970-an bertanggung jawab memutus tradisi intelektual di ranah literatur dan sinema di Tiongkok Daratan. Sinema Gelombang Baru Taiwan, walaupun berada di pulau yang berbeda, berhasil menghubungkan kembali keterputusan tradisi intelektual itu melalui bahasa sinema yang diusungnya. Kata-kata yang serupa juga diungkapkan oleh Ai Weiwei, namun dia menambahkan bahwa sineas Sinema Baru Taiwan memiliki corak humanisme yang berbeda bila dibandingkan dengan film-film Tiongkok Daratan di periode yang sama. Opini yang lebih keras diutarakan oleh Wang Bing. baginya, Generasi Kelima tidak menampilkan individu seotentik Sinema Baru Taiwan. Film-film Generasi Kelima dilihatnya hanya menampilkan kisah dan gambar cantik saja, tapi tidak memiliki kedalaman manusia seperti film-film Sinema Baru Taiwan. 

Wang Bing di Flowers of Taipei

Pendapat sineas dan seniman yang lahir dan besar di Tiongkok Daratan ini penting untuk disimak, karena mereka mengalami betul perubahan politik dan sosial yang terjadi di Tiongkok Daratan. Perenungan serta perbandingan yang mereka ungkapkan tentang perbedaan-perbedaan antara sinema Tiongkok Daratan dan Taipei pada periode tersebut menjadikan persoalan terhadap identitas dan kedaulatan dalam konteks kultur dan seni terjawab dengan sendirinya. Inilah yang membuat imaji Taiwan juga Taipei dalam film-film Sinema Baru menjadi politis. Seni melakukan apa yang tidak bisa dilakukan melalui diplomasi tingkat tinggi dalam menyatakan posisi identitas dan kedaulatan de facto sebuah bangsa. 

Posisi sinema sebagai diplomasi politis antara Tiongkok Daratan dan Taiwan ini disadari oleh Edward Yang. dalam satu wawancara yang dilakukan oleh Mirror Media, Wu Nien-jen (penulis juga salah satu aktor di Yi Yi dan Taipei Story) mengingat kembali pada suatu malam di sebuah festival film di Hong Kong ketika para sineas dari Taipei bercengkrama dengan sineas dari Tiongkok Daratan. Di depan mereka Edward Yang berkata: “kami tidak hanya saling bersaing dengan sesama sineas dari Taiwan tapi juga dengan sineas dari Tiongkok Daratan, kami semua bersemangat untuk menunjukkan apa itu Taiwan pada dunia dengan menggapai negara-negara lain, pelan-pelan film kami akan mendapatkan pengakuan di dunia”. 

Afrian Purnama

Afrian Purnama adalah seorang penulis, periset seni, pembuat film, dan kurator film. Redaktur dan editor pelaksana di Jurnal Footage dari 2016 hingga 2022. Sutradara Golden Memories - Petite Histoire of Indonesian Cinema. Sinematografer Amrus Natalsya Yang Membuat Kembali Keluarga Tandus Disendja. Ko-Kurator pameran film Kultursinema, dan beberapa kali menjadi kurator di festival Arkipel - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.