Pak Atmo boleh jadi tokoh sempalan dalam film Suci Sang Primadona (1978). Seorang anggota kelompok Srimulat yang makin keranjingan judi sejak Paijo, si pengasong, menang lotre. Ia muncul sesekali sedang menebak-nebak susunan angka yang akan keluar. Sesekali pula, namanya disebut karena kinerja buruknya di panggung. Dimensi ketokohannya terlihat miskin. Kurang kompleks. Hanya tokoh biasa yang mengincar lompatan nasib terakhir di usianya yang uzur. Betul saja, ia mati ketika kemenangan yang diincar-incar tampak di depan mata. Semua orang berkumpul dengan impian yang nyata sekali. Pak Atmo terperangah melihat singgahsana di kepalanya berkabut, kosong, lalu menghilang seperti kilatan lampu. Pada adegan itu, kamera lalu menoleh pada lukisan kaligrafi berbentuk tokoh semar–untuk menunjukkan semacam petuah moral dari selingan kisah orang-orang kecil.
Arifin C. Noer dengan Ironis memberikan nasib buruk pada Pak Atmo. Berjudi bukan hanya mengadu peruntungan. Pak Atmo lupa bahwa bertaruh adalah prasyarat utama dari perjudian. Di saat terakhirnya, ia tak melakukannya.
Pak Atmo bukan satu-satunya arketip penjudi di lakon-lakon Arifin. Pada periode 70-an, munculnya tokoh-tokoh gemar judi dari masyarakat miskin urban mengindikasikan perhatian khusus Arifin pada fenomena sosial pada era tersebut.
Dalam naskah drama Mega-Mega (1968) Arifin menghidupkan gelandangan bernama Kojal (baca:koyal) yang terobsesi menghabiskan uang hasil menang lotre. Ada pula tokoh gemar judi lain yang lebih memercayakan nasib mereka pada judi ketimbang gaji pegawai negeri yang kecil. Mereka adalah sepasang suami-istri bernama Korep dan Turah dalam naskah Tengul (1974). Menilik corak perjudiannya, Kojal–terdengar mirip dengan “khayal”–seakan mengidap kegilaan tertentu akibat kondisi ekonomi yang lemah. Begitu pula pada naskah Tengul, tokoh Korep dan Turah terjebak dalam persoalan struktural yang mengharuskan mereka berkubang di lingkaran judi.
Perekonomian negara di era 70-an memang cenderung fluktuatif. Selain karena periode transisi kekuasaan, situasi politik internasional dan fenomena iklim turut andil. Pada awal era Orde Baru, pendapatan negara dari minyak meningkat tiga kali lipat akibat konflik timur-tengah di medio 1974-1978. Industri bahan mentah menguasai hampir setengah dari pendapatan pemerintah. Ironisnya, limpahan harga minyak yang diterima pemerintah harus diikuti dengan beban hutang Pertamina yang memakan 25-40 persen APBN antara 1976 dan 1979(1). Di saat yang sama Indonesia tengah berupaya mengendalikan ketahanan pangan setelah diterpa badai El-Nnino dan krisis impor sejak awal dekade 70-an. Situasi ini tersirat pada permintaan Bu Atmo untuk membeli satu ton beras ketika ia mendengar nomor lotre Pak Atmo keluar. Di akhir tahun 70-an, untuk mencukupi konsumsi dalam negeri pemerintah harus mengimpor sepertiga dari total persediaan beras internasional dan mendudukkan Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia(2).
Judi dan kota seperti tanah lapang di mana Arifin berupaya menarik benang layang kuasa vertikal yang membayanginya.
Tarik-ulur Regulasi Judi
Tradisi perjudian tercatat sudah ada pada abad ke-8 dalam beberapa kitab dan prasasti Jawa Kuno(3). Sabung ayam menjadi jenis perjudian paling populer di samping sabung merpati, kambing, dan babi. Pemerintah Jawa Kuno bahkan membentuk pejabat khusus seperti malandang yang bertugas seperti bandar atau pengawas judi dan mangilala dwiraya haji yang ditugaskan kerajaan untuk mengelola keuntungan pajak perjudian. Di era kolonial, pemerintah saat itu mendapat banyak keuntungan pajak dengan memberlakukan sistem pacht atau hak monopoli berbagai sektor ekonomi terutama urusan gadai yang menopang praktik perjudian. Regulasi judi terus diberlakukan hingga era Orde Baru. Perjudian seperti lotre toto, nasional lotre (nalo) dan lotre totalisator pernah dilegalkan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan dan Surabaya.
Hwa-Hwee atau perjudian angka sejenis lotre yang dikelola oleh Yayasan Bhumyamca milik TNI-AL pernah dilegalkan Walikota Surabaya pada April 1968. Meski pelegalan Hwa-hwee berjalan kurang lebih sebulan saja, namun pendapatan pajak dari judi tersebut cukup untuk membangun dan merevitalisasi infrastruktur kota. Tarik-ulur pelegalan judi dilakukan kembali oleh Pemerintah Kota Surabaya ketika Jawa Timur terpilih menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional VII tahun 1969. Pemerintah Kota Surabaya mengusulkan penyelenggaraan Lotto (Lotre Totalisator) untuk pembangunan fasilitas PON kepada M.Noer, Gubernur Jawa Timur yang menjabat kala itu. Usulan itu ternyata disetujui oleh Gubernur, sebab gelaran PON pertama di era Orde Baru tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Taman Hiburan Rakyat Kotamadya Surabaya yang menjadi gelanggang pentas kelompok srimulat di film Suci Sang Primadona menjadi salah satu fasilitas publik yang direnovasi menggunakan dana Lotto(4).
Selain untuk mengais pajak, regulasi juga dimaksudkan untuk mengontrol ekses perjudian. Dalam sekala nasional, begitu banyak resolusi penolakan dari berbagai organisasi masyarakat terhadap praktik perjudian di daerahnya. Imbas yang terasa adalah ketika semakin banyak orang-orang yang berpenghasilan rendah kecanduan dengan harapan semu perjudian angka ini. Karena banyak ditentang sejumlah kalangan, model perjudian angka dihapus melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian(5). Di tahun yang sama ketika film Suci Sang Primadona dirilis, muncul perjudian dengan dalih sumbangan sosial. Diawali dengan munculnya Lotere Dana Harapan yang dikelola Yayasan Rehabilitasi Sosial–berganti nama menjadi Badan Usaha Undian Harapan pada 1978. Tak beberapa lama, Dana Harapan dibekukan setelah diprotes karena menjurus ke perjudian. Setelahnya muncul lagi Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB) yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) pada 1979. Kupon sumbangan ini disebut dengan nama Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) atau Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB).
Seiring dengan peningkatan penjualan kupon-kupon undian nasional, pemerintah pusat berupaya membatasi keikutsertaan rakyat kecil dengan menaikkan harga kupon undian. Namun, hal ini justru menjadi peluang segelintir bandar liar untuk menjual kupon buntut yang lebih murah. Di Surabaya kegiatan judi buntut seringkali ditemui di tempat-tempat umum dari terminal hingga kampung-kampung. Pada gilirannya, ekses-ekses perjudian yang dikelola secara horizontal tumbuh subur terlepas dari pengawasan pusat.
Impian Urban
Masyarakat kelas bawah diperlihatkan sebagai kelas yang bergantung pada kans murni. Peruntungan mereka ditentukan oleh pihak ketiga yang secara in absentia meletakkan mereka di situasi tertentu. Adegan Paijo menang lotre secara karikatural menggambarkan pola tersebut. Karakternya muncul tiba-tiba mengendarai fireflite merah yang diiringi pawai bocah-bocah dan gombloh si orang gila. Kehadirannya menggugah para penghuni bangsal srimulat untuk menghentikan aktivitasnya untuk mengerumuni Paijo yang seketika naik kelas. Digambarkan beberapa orang tengah menerka-nerka angka lotre, termasuk Pak Atmo yang kemudian menyaksikan bila kekuatan nasib begitu dekat dengannya. Warga bangsal tampak gumun dengan jalan pintas yang disediakan judi untuk memperkaya hidup. Respon serupa muncul sekali lagi ketika angka Pak Atmo keluar. Warga berkumpul menyerbu rumah Pak Atmo untuk merayakan kemenangan nasib. Sebab di sana ada semacam ilusi kans yang tampak demokratis.
Kota menjadi wadah bagi siapapun orang untuk bermimpi. Tak terkecuali kelas masyarakat dengan taraf ekonomi yang lebih tinggi. Sebut saja Pak Daud, saudagar garam; Om Kapten, mantan kapten kapal; dan konglomerat keturunan Tionghoa bernama Tuan Tjondro. Apa yang mereka impikan bukan lagi soal kemewahan harta benda, tapi fantasi seks dan kehormatan. Reputasi mereka diletakkan di pinggir kasur ketika berhadapan dengan Suci. Motivasinya jelas untuk menokok ego yang jauh lebih besar dari kantong mereka. Ada semacam ironi dan hipokrisi tentang bagaimana mereka menghidupi mimpinya. Bagi mereka, apapun, bahkan sesuatu yang immateril, dapat dibeli dengan uang. Seperti dalam adegan panggung terakhir, mereka menuntut Suci karena merasa telah dicurangi. Harga diri mereka seakan diperas. Kebenaran Suci terungkap; tak pernah ada kesetiaan bagi para pria simpanannya. Suci tak kalah sikap, ia mengatakan “Apabila ada orang yang harusnya merasa lebih dicurangi adalah istri-istri kalian”. Ironisnya justru di atas panggung mereka saling membuka satu wilayah realitas yang tertutup. Lantas kehidupan menjadi meja kartu dobolan, bohong, poker, atau judi semacamnya yang mengandalkan kemampuan berperan.
Kontras semacam ini menunjukkan struktur alegoris yang memisahkan kelas sosial dalam jenis perjudian yang berbeda. Masyarakat kelas menengah-atas tanpa disadari tengah melakukan perjudian demi kebesaran ego. Perjudian itu menjadi bagian integral dari basis hidup sehari-hari, artinya mereka punya kendali atas agensinya masing-masing. Arifin menggambarkannya dengan proses yang cukup jelas. Linier. Dari ranjang hingga titik kulminasinya di panggung. Kondisi ini dibenturkan dengan impian masyarakat kelas bawah yang selalu bermotif ekonomi; untuk lari dari kemiskinan. Arifin menggambarkannya melalui “ketiba-tibaan” atau ikhtiar yang dijangkau dengan cara yang irasional. Benturan ini tampak pada kecemburuan Parti dan pernyataan Pak Atmo terhadap Suci yang mengalami mobilitas vertikal lewat proses yang berbeda. Bagi mereka hidup berjudi lebih bermartabat daripada harus menjual kehormatan diri.
Perjudian Suci
Sementara saya membangun sekat, sembari saya mencari, sembari menimbang jenis martil yang paling tepat untuk membongkarnya kembali. Memang pada akhirnya sekat itu tidak cukup berguna untuk membagi corak-corak perjudian ke dalam kelas-kelas tertentu. Oleh itu, kiranya Arifin meletakkan Suci dalam peran yang penting. Ia adalah anomali dari pola-pola yang telah saya jabarkan di atas.
Suci diperkenalkan sebagai penari gandrung di desa. Karirnya menanjak setelah tampil sebagai sripanggung di Surabaya. Ia tahu betul, banyak orang menggilainya. Demi mimpinya, ia menjalani dua sisi kehidupan yang berbeda. Suci sebagai sripanggung dan suci sebagai wanita simpanan. Hubungan Suci dengan para saudagar kaya sudah jadi rahasia umum. Di samping karir cemerlangnya sebagai sripanggung, kemewahan hidup yang dimiliki Suci jelas jomplang bila dibandingkan awak srimulat lainnya. Suci menikmati status barunya. Ia tunggal di salah satu rumah mewah milik Tuan Tjondro, lengkap dengan mobil dan asisten pribadi. Kemudian datanglah Eros, remaja bengal yang kabur dari kehidupan kota Jakarta. Di Surabaya ia singgah di rumah keluarganya yang beberapa tahun lalu dibeli oleh Tuan Tjondro. Di sana Suci dan Eros bertemu. Ada pergeseran motif yang dialami Suci setelah bertemu Eros. Setelah Suci menghidupi mimpi menaiki tangga sosial, ternyata ia menyadari satu hal yang tidak ia dapatkan; dan ia menemuinya pada sosok Eros. Selama ini Suci menyenangkan hati pria-pria simpanannya demi kemewahan hidup. Ia hanya memperpanjang perannya dari panggung ke kasur. Eros–yang juga berarti cinta–memberikan Suci suatu hubungan romantis didasari oleh perasaan naif. Pergeseran ini digambarkan dengan bermain congklak.
Dalam naskah asli yang diketik Arifin, ia menuliskan adegan Suci dan Eros untuk pertama kalinya berinteraksi dengan intim melalui sebuah permainan. Ia menuliskan “halma–atau apalah” sebelum akhirnya permainan congklak dipilih. Dalam konteks judi, adegan bermain congklak menjadi signifikan karena; menandai pergeseran motif Suci dari ekonomi ke psikologis, dan mengembalikan laku judi ke hakikatnya sebagai ekses dari permainan biasa. Apa yang membuat permainan-permainan biasa ini menjadi perjudian adalah ketika orang-orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, mempertaruhkan nilai lebih ke dalamnya. Dan sesuatu yang dipertaruhkan, berapapun jumlahnya, selalu berdampingan dengan kerelaan untuk melepaskannya.
Permainan congklak menjadi aksi simbolik dari pertaruhan antara Eros dan Suci. Eros rela meninggalkan cita-cita dan hidupnya demi mengawini Suci. Suci sendiri mulai menimbang-ulang hidupnya setelah bertemu Eros. Dalam beberapa adegan terlihat Suci tengah mempertimbangkan untuk menerima lamaran Eros. Tentu, dengan pemikiran bahwa Suci bisa saja kehilangan mimpi-mimpi yang telah ia perjuangkan selama ini. Ia bisa saja kehilangan kemewahan yang diberikan para pria simpanannya. Bahkan kehilangan karirnya di panggung. Meskipun pada akhirnya kita tahu, Eros memilih kembali menuntut ilmu di Jakarta. Begitu pula Suci. Ia memutuskan untuk melepas mimpi-mimpi dan apapun yang telah ia dapat lantaran ia memiliki hal yang menjadi semacam justifikasi moral atas impiannya. Barangkali perjudian terbesar yang pernah dilakukan Suci ketika ia meninggalkan anak-anaknya di desa.
Penutup
“Saya baru menyadari, lalu apa yang kalian beli selama ini? Daging kah? Atau hati saya? Atau sukma saya? Atau nyawa saya barangkali?” Dengan rasa jijik bercampur amarah Suci membentak tiga pria di depannya. Sebelumnya Pak Tjondro mengatakan bahwa ini semua tentang dagang. “Tepat sekali”, tegas Suci. Suci menyatakan bahwa ia masih mempunyai hal lain yang tak bisa diperdagangkan, tidak bisa diperkosa. Mereka pikir dengan uang mereka bisa membeli Suci seutuhnya. Om Kapten mengancam Suci dengan tuntutan hukum. Suci bersitegas. Ia membeberkan borok yang selama ini mereka simpan. Kehormatan yang mereka miliki semu. Pak Daud; pemilik tambak garam yang mengambil keuntungan lebih dari tanah orang lain. Tuan Tjondro; pedagang yang keran usahanya telah memiskinkan orang. Om Kapten; lintah darat yang menderita impotensi. Apabila kita menarik konflik dalam kerangka ekonomi, Suci pun merasa dicurangi oleh impiannya sendiri. Harta benda ternyata tak lebih membahagiakan daripada hidup di desa. Paijo yang kehilangan hartanya dalam sekejap dan kembali mengasong rokok di pinggir Taman Hiburan Rakyat. Demikian pula dengan rombongan srimulat yang terbuai oleh ilusi-ilusi kans dari berjudi.
Pada akhirnya realitas kota merupakan realitas yang terbeli. Orang kaya mengira mereka dapat membeli suci dengan uang. Suci mengira dapat membeli kebahagiaan dengan uang. Anggota srimulat mengira judi bisa menyelamatkan mereka dari jurang kemiskinan. Perjudian adalah candu masyarakat. Membuat ilusi bahwasanya yang dihadapi melulu problem individual. Konflik terus menerus berputar pada gesekan antar kepentingan pribadi. Padahal yang dihadapi adalah problem sistemik. Di satu sisi pemerintah dapat mengambil keuntungan dari perilaku masyarakat ini untuk mendorong agenda pembangunan. Di sisi lain, perjudian begitu melenakan masyarakat dengan mimpi-mimpi dan lepas dari tanggung jawab negara. Kesempatan yang mereka miliki tidak benar-benar demokratis. Tokoh-tokoh ini mempertaruhkan mimpinya seakan-akan mereka punya kans, tapi sebetulnya mereka hanya punya satu kesempatan untuk kembali bermimpi.
Lihatlah Paijo, mantan miliyuner yang hartanya baru saja ludes. “Milyuner apa? Milyuner seumur laron. Nasib kok kayak film.”
- Nurul Qomariyah Pramisti, “Indonesia 1970an: Kaya Minyak tapi Nyaris Pailit karena Pertamina”, (https://tirto.id/f5qX diakses pada 28 Agustus 2022, 11:02) ↑
- Iswara N Raditya,”Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana”, (https://tirto.id/c2eV diakses pada 29 Agustus 2022, 15:22) ↑
- Risa Herdahita Putri, “Main Judi Masa Jawa Kuno”, (https://historia.id/kuno/articles/main-judi-masa-jawa-kuno-vYMd5/page/1, diakses pada 5 September 2022, 15:16) ↑
- Sanjoyo, Mawardi Purbo. Perjudian “Tebakan Angka” di Surabaya Tahun 1950-1980an. SOLIDARITY: Journal of Social Studies Vol. 02, No. 01, Juni 2022↑
- M Rizal, “Dari Lotre sampai SDSB”, (https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20220708/Dari-Lotre-Sampai-SDSB/, diakses pada 15 September 2022, 16:40) ↑