Pesta-pora yang biasa mewarnai perhelatan Festival Film Indonesia pada umumnya sirna di panggungnya yang kedelapan, pada tanggal 26 Februari 1976. Di puncak acara, dewan juri yang terdiri dari D. Djajakusuma, H. Rosihan Anwar, Irawati M. Sudiarso, Zulharmans, Setyadi Tryman M.S., Dr. Soedjoko, D.A. Peransi, Taufiq Ismail, dan Salim Sahid mengutus Rosihan Anwar ke atas panggung untuk membacakan pernyataan juri, yang lazimnya hendak mengantarkan acara ke penghargaan Film Terbaik. Namun, kali ini tidak ada pemenang di kategori Film Terbaik.
Para dewan juri berkesimpulan bahwa “film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser semata-mata sebagai alat hiburan yang tidak selalu berarti sehat. Produser film Indonesia menampakkan diri terutama sebagai pedagang-pedagang impian. Dalam posisi demikian memang produser tidak berpijak pada bumi Indonesia, sebab mimpi yang indah selalu berkisah mengenai dunia yang tidak kita selalu kenal.” (Mengapa Dewan Juri Bicara Keras?, Tempo 12 Maret 1977). Selanjutnya, catatan mengenai kemunduran dalam keragaman tema, lingkungan cerita, watak manusia, hingga kurangnya wawasan dramaturgi di bidang skenario, penyutradaraan, editor, fotografi, musik, hingga pengarahan artistik menjadi pukulan telak di malam itu.
Seakan drama belum cukup, Djajakusuma yang hendak membacakan pilihan-pilihan dewan juri di kategori selain Film Terbaik pun pingsan di atas panggung setelah mengeluarkan tiga kata. Sutradara Wim Umboh berspekulasi bahwa robohnya Djajakusuma dikarenakan beliau tidak tahan mendengar ejekan riuh-rendah dari khalayak pelaku film setelah pengumuman Rosihan Anwar. Meskipun demikian, dokter di Rumah Sakit Jakarta menyebut kelelahan sebagai penyebab pingsannya Djajakusuma.
Anggota dewan juri lainnya, Taufiq Ismail, menyajikan bukti statistik sebagai pendukung pernyataan tersebut dalam artikel Cerita Angka, FFI 1977 (Tempo, 12 Maret 1977). Perkotaan menjadi latar belakang mayoritas kisah-kisah impian yang disebut Rosihan Anwar, ketika dari 27 film yang masuk, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia desa dengan desa sebagai lingkungan (14,9%). Lima buah film secara menyolok memperlihatkan merek-merek mobil yang menyimbolkan kekayaan seperti Mercedes-Benz dan Volvo. (18,5%). Perabot ukir sebagai penanda kelas juga hadir di sebanyak 55,5% dari seluruh film (15 buah) atau 65,2% dari film yang berlatar di perkotaan. Kelab malam muncul pada 52,1% film yang ceritanya berlangsung di kota.
Apakah konsekuensi dari impian materi adalah hasrat akan tubuh (perempuan)? Pasalnya, terdapat 11 film yang menampakkan adegan hubungan kelamin, dan 6 film di mana perempuan terpaksa melacurkan diri karena ekonomi yang terdesak. Tulis Taufiq, “Tidak pada sebuah filmpun yang ikut FFI 1997 ini wanita Indonesia yang hidupnya secara ekonomis sudah terlampau kepepet diberi jalan mencari nafkah dengan mati-matian menjahit, jualan gado-gado, jadi guru, makelaran barang perhiasan, mencuci pakaian orang, menyapu jalan raya, kerja di pabrik plastik, jadi buruh batik, atau kerja kasar lainnya. Semua ambil jalan pintas: jual kehormatan.” (1)
Rilis beberapa bulan setelah kericuhan tersebut, Suci Sang Primadona arahan Arifin C. Noer menyadur elemen-elemen yang serupa: kecantikan, kemolekan tubuh, cinta, tragedi, kemiskinan. Namun, seks tidak sekadar bumbu-bumbu penarik penonton dalam film ini. Arifin C. Noer berupaya menghubungkan hasrat-hasrat privat dalam kamar-kamar tertutup dengan hasrat kolektif yang dibentuk oleh ketimpangan struktural. Hilangnya keinginan manusia untuk menentukan hidupnya yang bebas, saat ruang-ruang terdalam dalam jiwa manusia sudah dimasuki oleh kapitalisme.
Hasrat dan Tubuh
Suci bermain peran di panggung Srimulat hingga menari tradisional dalam acara-acara hiburan, menjadi bintang utama yang ditunggu-tunggu oleh penontonnya. Di adegan pertama, Suci yang menari diiringi musik tradisional tampak tersenyum manis, gerakannya luwes, dengan kamera yang sesekali menyorot goyang pinggulnya. Penampilan Suci disambung dengan insert cut wajah-wajah om-om senang yang tertawa mesum atau melotot dramatis. Reaksi-reaksi ini akan lazim kita jumpai sepanjang film. Pada adegan Suci bernyanyi dangdut di atas panggung, kamera turut menunjukkan berbagai reaksi penonton, mulai dari yang cengar-cengir, berjoget sendiri, hingga berjoget riuh hingga harus ditenangkan oleh aparat keamanan. Hampir semua orang yang reaksinya ditonjolkan secara jelas adalah laki-laki. Reaksi serupa juga muncul saat Eros pertama kali berkenalan dengan Suci. Saat Suci berjalan meninggalkannya, Eros nampak memaki, “Makdingehe!” Sebagai perkenalan karakter, sutradara sudah menempatkan tubuh Suci di dalam layar untuk diobjektifikasi oleh “penonton-penonton”-nya.
Saat turun dari panggung, Suci pun memasuki panggung kedua: kamar-kamar remang-remang, tempat ia bermain peran sebagai kekasih dari tiga lelaki kaya dan berkuasa di Surabaya, tanpa mereka saling mengetahui keberadaan yang lainnya. Jika menggagahi perempuan yang dianggap primadona menjadi simbol kelaki-lakian di mata publik, di balik pintu tertutup Pak Dawud, Oom Kapten, dan Tuan Condro justru hilang kegagahannya. Mulai dari Pak Dawud yang meminta dipanggil Kangmas dan merengek-rengek seperti anak kecil agar Suci mau tidur dengannya, Oom Kapten yang perlu dibujuk rayu oleh Suci agar tidak merasa kecil hati akan impotensi yang ia derita. Dialog paling gombal mungkin diucapkan oleh Tuan Condro: “Beri cium yang enak, Suci. Yang paling enak. Yang tidak ada di Hongkong, tidak ada di Tokyo, dan tidak ada di Paris.” Suci menari dengan berbagai topeng: istri yang tegas pada suaminya, wanita muda yang memimpikan sosok lelaki gagah, gadis yang pencemburu, hingga primadona angkuh.
Tumpang-tindih peran ini menggambarkan medan kuasa yang begitu kompleks. Meskipun Suci melakonkan peran-peran yang ia lakukan dalam keterpaksaan, di hadapan ketiga orang tersebut Suci tidak pernah berada dalam posisi yang tidak berdaya. Justru karakter Eros, seorang remaja berandal dari Jakarta yang nampak berada di masa-masa akhir sekolah, menjadi celah bagi penonton untuk mengasihani Suci. Eros yang muda dan idealis berhasrat untuk kabur dari kebusukan moral di Jakarta dan ingin kembali ke “alam”, hutan, jalan aspal, kesederhanaan, apa pun itu bentuk kesucian yang diimajinasikan olehnya. Keberadaan Eros memberikan cermin bagi Suci untuk mengakhiri lakon yang telah ia mulai demi mencapai dunia gemerlap.
Saat menonton film ini untuk kesekian kalinya, saya teringat dengan karakter Lorelei dalam film komedi musikal Gentlemen Prefer Blondes (Howard Hawks, 1963) yang diperankan oleh Marilyn Monroe. Seperti Suci, Lorelei adalah seorang showgirl atau sripanggung yang mencari nafkah dari tatapan khalayak, dan kecantikannya menjadi mata uang yang dapat ditukar dengan hal-hal material yang berasal dari lelaki. Lorelei telah bertunangan dengan seorang pria yang mewarisi kekayaannya dari ayahnya, namun dalam perjalanan kapal pesiar menuju Paris, ia sempat menggoda lelaki kaya lainnya untuk mendapatkan tiara milik istrinya. Hal ini menimbulkan masalah lebih lanjut dalam alur cerita film tersebut. Namun, keputusan-keputusan Lorelei diwajarkan oleh dialognya di akhir film, ketika ayah sang tunangan menuduh Lorelei yang mengincar hartanya: “Jika Anda punya anak perempuan, tentunya Anda menginginkan kehidupan dan hal-hal terindah untuknya. Salahkah jika aku menginginkan hal-hal tersebut?”
Suci Sang Primadona menolak untuk mengisolasi hasrat pada satu tubuh saja, pada sepasang mata saja. Objektifikasi tubuh perempuan oleh laki-laki, persoalan selangkangan, hanya menjadi titik masuk bagi hasrat yang lebih besar: hasrat yang menjangkiti tubuh masyarakat.
Yang Kosong dan yang Tiada
Dalam salah satu adegan, kita mendapati Oom Kapitan dan Suci sedang berdua di kamar Suci. Setengah mati, Suci sedang menghibur Oom Kapitan yang tidak bisa ereksi. Adegan tersebut bergulir nyaris seperti parodi, seakan Suci dan Oom Kapitan sedang beradu gombal dengan sengit. Namun, adegan tersebut dimainkan dengan sangat lembut dan hati-hati oleh Joice Erna dan Soekarno M. Noor, sehingga percakapan tersebut menjelma jadi tulus, benar-benar pengakuan diri Oom Kapitan yang rapuh di balik pintu tertutup dan Suci sebagai wanita impian yang penuh pengertian.
Saat Oom Kapitan harus berpisah dengan Suci, ia melangkah keluar dari kamar Suci menuju panggilan yang menggoda dari tetangga Suci, “Selamat pagi, Oom!” Kamera mengikuti gerakan Oom Kapitan yang bergegas, entah karena malu atau memang terburu-buru, menampilkan realita kompleks tempat tinggal kelompok Srimulat yang sempit dan agak kumuh, sembari tokoh Gombloh mengekor Oom Kapitan sambil tertawa. Gombloh nampak selalu hadir di sekitar pemain Srimulat dengan pakaiannya yang penuh pernak-pernik, kemungkinan seorang gelandangan yang mengidap gangguan jiwa. Ia meminta uang pada Oom Kapitan, dan ketika Oom Kapitan memberikannya uang, mereka berpisah jalan.
Dari sini, kamera terus mengikuti Gombloh yang berlari riang, memasuki area pasar malam dan menggunakan uang dari Oom Kapitan untuk membeli balon dari penjual balon sepeda. Di sekitar penjual balon ada banyak anak-anak, dan seorang anak terdengar sedang menangis karena tidak bisa membeli balon. Senandung Gombloh yang berjingkat sambil memegang balon bertabrakan dengan suara tangisan si anak. Tak lama kemudian, balon tersebut lepas dari tangan Gombloh, menuju angkasa. Tangisan Gombloh berpadu dengan tangisan si anak.
Mengakhiri adegan kemesraan Suci dan Oom Kapitan dengan tokoh dan peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan adalah keputusan yang menarik. Terjadi transisi dari ruang privat yang intim dan penuh khayal menuju realita yang berantakan. Adegan Gombloh membeli balon menampilkan keinginan polos dan sia-sia dalam sebuah lanskap sosial, diiringi suara tangis anak-anak yang mengganggu peristiwa. Ini membuat adegan tersebut terasa janggal namun efektif, sebagai alegori hasrat dan kesia-siaan materi yang menjadi tema sepanjang film. Arifin C. Noer memanfaatkan ragam karakternya dengan baik, sehingga karakter minor dalam adegan yang nampak seperti sempalan pun bisa diarahkan untuk menciptakan impresi yang senada dengan garis besar film. Lebih cerdasnya lagi, peristiwa ini dimanfaatkan sebagai transisi ke adegan selanjutnya: setelah adegan Gombloh di siang hari, film berpindah ke malam hari, di lokasi yang sama, namun dengan suasana yang lebih meriah dan dilatari lagu dangdut yang dinyanyikan Suci.
Lepasnya balon dari tangan Gombloh juga memiliki kesan yang sama dengan sekuens khayalan Pak Atmo saat ia mendapatkan kabar bahwa dirinya memenangkan lotere. Muncul gambar panggung berlatar istana, sebuah singgasana di tengahnya, dan Pak Atmo berdiri dengan pakaian mewah. Kembali ke wajah Pak Atmo, yang mendadak terbatuk-batuk dan jatuh ke kursi rotannya. Ternyata, ia lupa membeli tiket lotere yang menang itu. Gambar singgasana yang kali ini kosong, muncul berkali-kali diriingi suara gong.
Kekosongan muncul sekali lagi dalam sketsa Srimulat yang ditampilkan dalam film ini. Seorang pria membeli semangkuk “soto seks”, dan ketika mangkuk diberikan kepadanya, ia protes karena mangkuk itu kosong. Kata si penjual, “pergunakanlah fantasi!”
Ada kesamaan di antara adegan-adegan kecil ini: hasrat digambarkan sebagai upaya mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau sesuatu yang hanya bisa digenggam sementara. Maka impian, khayalan, dan kepandaian bersandiwara pun turut berperan untuk mengisi kekosongan tersebut. Bisnis pertunjukan adalah upaya menjual mimpi, tawa, dan “semua barang yang nikmat dipandang mata”, meskipun hanya sesaat. Setiap sandiwara memiliki awal dan akhirnya, begitupun sandiwara Suci. Namun, adegan-adegan kecil tadi membuktikan bahwa ini bukan hanya kisah Suci. Kongsi teater Srimulat sebagai latar belakang Suci tidak berhenti sebagai tempelan, tapi menjadi variasi bahasa untuk mengeksplor permasalahan hasrat. Hasrat bukan hanya suatu dorongan yang privat, namun ia bersifat kolektif dan struktural.
Hal ini ditegaskan dalam adegan klimaks dalam film Suci, yakni konfrontasi di panggung antara Suci dan ketiga lelakinya. Siapa yang paling dirugikan dari hubungan-hubungan ini? Suci mengenang kehidupannya di desa yang sederhana dan merasa berkecukupan, hingga suatu hari “orang-orang seperti kalian” masuk dan mempromosikan gaya hidup mewah ala orang kota, membuat Suci dan orang-orang desa lainnya merasa tak kunjung puas dengan apa yang mereka punya. Jangan-jangan, ini bukan salah orang-perorang, namun salahnya kapitalisme global.
Bisakah Kita Kembali?
Saat Suci Sang Primadona rilis di tahun 1976, Orde Baru sudah berjalan lebih dari satu dekade. Indonesia tengah mengalami boom ekonomi karena perubahan haluan ekonomi nasional yang membuka lebar pintu investasi, dan sektor migas nasional yang menjadi primadona saat negara-negara Arab memboikot negara Barat. Geliat pembangunan yang begitu cepat dan menggiurkan turut mengubah struktur-struktur kehidupan masyarakat yang paling dasar. Keinginan-keinginan baru muncul, begitu juga representasi baru dalam sinema yang mengakomodir keinginan-keinginan tersebut di tengah absennya saluran politik yang sehat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan diri. Saat menghadapi ketidakstabilan yang datang dengan transformasi, terkadang timbul keinginan untuk bisa kembali ke masa lalu, menjalani hidup seolah perubahan itu tak pernah terjadi.
Setidaknya itu yang terjadi di resolusi film Suci: Suci kembali ke kampungnya dan bertemu kembali dengan ibu dan anak-anaknya, sementara Eros kembali ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah selayaknya pemuda-pemuda seusianya. Suci meminum air segar dari kendi tanah liat di depan rumahnya, penanda yang tidak ada dalam rumah-rumah masyarakat perkotaan. Shot selanjutnya adalah Eros yang mencuci muka dengan air yang menetes dari tanaman rambat di tebing, testimoni atas sebuah perjalanan yang mendewasakan dirinya.
Suci mengajukan tuntutan kepada sistem, namun pilihan yang diambil pada akhirnya bersifat individual. Pilihan tersebut bisa dibaca sebagai keputusan untuk bersyukur, sebuah kekalahan, pengunduran diri, atau justru kemenangan moral atas nama martabat diri. Namun, apa yang terjadi jika kita berandai-andai bahwa tiga puluh tahun kemudian desa Suci digusur untuk pembangunan sebuah pabrik? Jika hal itu terjadi, di mana lagi Suci bisa menemukan kembali kesucian? Barangkali, kembali kepada fitrah justru merupakan mimpi terbesar yang paling sulit digapai.
- Salah satu film yang dijadikan contoh oleh Taufiq Ismail adalah Tragedi Tante Sex (Piet Burnama, 1967), yang adegannya digambarkan sebagai berikut: “Kamera menembak reproduksi Venus Boticelli, perlahan menggusur ke bawah dan Tuty S berbaring miring, pakaiannya dua potong tekstil hitam agak menerawang yang dinamakan orang pakaian dalam, dan di depannya anak belasan tahun (Rano Karno) melotot mempelajari topografi Tante Kita yang tidak berimbang komposisinya itu. Exhibisionisme untuk pendidikan seks?”↑