Empat pria dan satu perempuan, di atas panggung yang beberapa jam sebelumnya ramai diisi oleh kelompok pemeran Srimulat. Dominasi tidak selalu ditandai dengan jumlah. Keempat pria ini tunduk pada satu perempuan itu; tiga di antaranya adalah kekasih gelapnya yang meminta pertanggungjawaban karena merasa ditipu, sementara pria keempat adalah sopir sekaligus orang kepercayaan perempuan itu. Drama di atas panggung yang telah selesai pementasannya, disaksikan oleh tiada siapapun kecuali seorang gendeng dan pemuda belia bernama Eros.
Sekuen di atas panggung itu mengisyaratkan bahwa: (1) realitas justru ditelanjangi ketika panggung sudah kehilangan penontonnya; (2) apa yang dilihat oleh penonton, yaitu saat panggung menjalankan fungsinya sebagai spektakel prosenium, hanyalah fasad dari realitas pemeranan yang menutupi kenyataan lain di luar panggung, yakni realitas yang dikonstruksi; (3) walaupun memiliki dua sisi yang realitasnya berlainan, namun realitas panggung, baik saat maupun setelah pementasan, saling bertalian dan mempengaruhi satu sama lain; (4) untuk melihatnya secara utuh, kita perlu menelisik kedua realitas itu secara sejajar. Realitas diciptakan oleh panggung, dan di saat yang bersamaan panggung juga menghancurkannya. Tokoh utama dalam film–yaitu Suci, yang diperankan oleh Joice Erna–hidup di antara tegangan dua realitas itu.
Drama dan konflik di atas panggung tersebut menjadi pucuk dramatik dalam Suci Sang Primadona. Tulisan singkat ini akan mencoba berspekulasi tentang posisi panggung dalam konstruksi naratif yang sesungguhnya tidak hanya berfungsi menjadi latar peristiwa tapi juga penanda yang saling terhubung antara tokoh, juga kenyataan yang direpresentasikan dalam film.
*
Suci Sang Primadona adalah film perdana Arifin C. Noer. Sebelumnya dia lebih akrab bergaul dengan panggung ketimbang bersama kamera dan lensa. Dia aktif berkegiatan di kelompok teater yang digagasnya di tahun 1968 bernama Teater Kecil, dibantu oleh beberapa kawan, salah satunya Salim Said. Awalnya, Teater Kecil banyak mementaskan karya-karya kanon terjemahan seperti Caligula karya Albert Camus dan beberapa karya maestro teater modern Eugène Ionesco. Namun, Arifin kemudian menuliskan lakon-lakonnya sendiri seperti Mega-Mega, Umang-Umang, dan yang paling terkenal, Kapai-Kapai.
Arifin adalah salah satu dari banyaknya sineas-sineas Indonesia yang lebih dulu melangkah sebagai pengarah panggung sebelum membidik dari belakang kamera. Usmar Ismail sempat aktif di beberapa kelompok teater, salah satunya adalah Sandiwara Penggemar Maya bersama Rosihan Anwar saat masa penjajahan Jepang. Teguh Karya mendirikan dan memimpin Teater Populer sejak tahun 1968, dan seringkali mengajak aktor dan aktrisnya dari kelompok teater itu untuk menjadi pemeran di film-filmnya. Begitu juga dengan beberapa sineas lain seperti Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani. Seni panggung memang tidak bisa dipisahkan dengan kesejarahan sinema Indonesia. Dia menopang, tidak hanya seni teater itu sendiri tapi juga seni pemeranan dalam bingkai kamera.
Sinema, bila dibandingkan dengan teater memang masih seumur bayam. Banyak elemen yang dipinjam dari seni teater, lalu berkembang dan membentuk estetikanya sendiri di dalam seni film. Meski begitu, film dan teater memiliki perbedaan fundamental. Dalam teater, yang penonton lihat di atas panggung adalah tubuh dan wajah aktor/aktris, bukan representasi atas tubuh dan wajah, sebagaimana yang terlihat dalam film. Panggung juga memperlihatkan tubuh secara utuh melalui titik lihat yang tetap, berbeda dengan bingkai kamera yang mampu memenggal tubuh menjadi beberapa bagian, melalui titik lihat yang tidak tetap.
Sehingga, baik panggung dan bingkai memiliki kemampuan dan keterbatasan dalam membentuk juga membongkar realitas dan ilusi. Realitas dan ilusi di panggung dibentuk oleh kehadiran tubuh dalam bentuk kulit dan daging, bukan tubuh yang direpresentasikan.
Ketika kenyataan panggung dibentuk kembali oleh bingkai kamera yang juga memiliki dinamikanya sendiri terhadap kenyataan dan apa yang direpresentasikannya; terutamanya bila film tersebut dibuat oleh sineas yang sebelumnya akrab dengan seni teater, maka pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apakah keberadaan panggung itu berkorespondensi dengan keseluruhan ide dalam film tersebut? Apakah panggung hanya sebatas latar peristiwa atau ada wacana lain yang ingin diutarakan oleh sineas tersebut?
*
Di antara beberapa nama sineas yang disebutkan di beberapa paragraf sebelumnya, salah satu sineas yang juga mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan berbahasa mengenai panggung dalam film adalah Teguh Karya, khususnya dalam filmnya yang berjudul Ibunda (1986). Menariknya panggung dalam film Teguh dan Arifin digunakan dengan cara yang berbeda, dengan demikian, keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda pula.
Dalam Ibunda, sekuen panggung muncul dalam bentuk potongan pada akhir pementasan. Di sebuah tulisan yang saya temukan di ranah maya (1) tertulis bahwa pementasan itu mengadaptasi novel Mother karya Maxim Gorky (yang lalu digubah ke bentuk teater oleh Bertolt Brecht). Namun, filmnya sendiri tidak menyebutkan dengan jelas karya apa yang sedang dipentaskan. Pementasannya juga hanya menampilkan secuil kisah saja di bagian akhir, sehingga tidak bisa juga dipastikan secara utuh apakah itu bentuk adaptasi dari Mother atau bukan.
Panggung dalam ibunda bertindak seperti counterpoint antara fiksi dan kenyataan. Relasi antara anak, ibu, dan keluarganya terbayang dalam karya fiksi yang dimainkannya di panggung. Kematian sang aktor di panggung yang diperankan oleh Zulfikar; diperankan oleh Alex Komang, bertimbal balik dengan longsornya hubungan antara dia dan Ibunya. Sehingga fungsi keberadaan panggung seakan sebagai metafora yang tarikannya berulang-alik dengan kenyataan di luar panggung itu.
Bila kita bandingkan dengan panggung dalam film Suci Sang Primadona, khususnya pada sekuen yang tertulis di di paragraf pertama, maka kita menemukan bahwa panggung digunakan berbeda dengan panggung di Ibunda.
Perlu ditekankan pula, dalam Suci Sang Primadona panggung hadir dalam dua jalur tradisi: panggung modern seperti dalam gedung pertunjukan Srimulat, dan panggung tradisional yang terlihat dalam adegan tarian di awal film. Dalam panggung tradisional, tidak ada sekat fisik antara penonton dan pemeran, sehingga penonton bisa langsung masuk dan terlibat bersama pemeran. Sementara panggung modern memiliki sekat yang jelas antara penonton dan para pemeran. Penonton tidak bisa serta merta menjadi bagian dari pertunjukan seperti dalam panggung tradisional. Kedua panggung itu dikuasai oleh Suci. Panggung tradisional bertindak hanya sebagai latar saja dan muncul sekali di awal film. Ini berbeda dengan keberadaan panggung modern yang berulang kali digunakan sebagai latar.bahkan sebagai latar klimaks naratif.
Dalam penciptaan konstruksi fungsi panggung, ada tahapan-tahapan yang turut digunakan di dalam film: Pertama, panggung digunakan sebagai latar peristiwa, yang diperlihatkan dalam adegan saat Suci bersama kelompok Srimulatnya memainkan lakon penjual ‘soto seks’. Adegan ini tidak memberikan pemaknaan apapun baik dalam konstruksi narasi maupun dalam pemeranan, kecuali menegaskan bahwa Suci adalah seorang sripanggung yang kehadirannya dinanti penonton dan seks sebagai elemen komersial yang dijual ke publik (dan ini termasuk pula pesona Suci di panggung sebagai simbol seks). Kedua, panggung digunakan sama seperti Teguh Karya menggunakan panggung di Ibunda, yaitu sebagai metafora. Peristiwa ini terjadi ketika Suci bernyanyi “Kupu-Kupu Malam”. Lirik dari lagu tersebut melukiskan dengan gamblang hidup dan kegetiran yang dialami Suci, yang sudah diketahui penonton film sebelumnya. Kegetirannya ini lah yang meledak di sekuen puncak kemudian.
Setelah menjadi latar dan metafora kenyataan, panggung lalu digunakan untuk membongkar ilusi yang telah diproyeksikannya. Ini terjadi pada sekuen yang dituliskan pada paragraf pertama. Ilusi yang dikonstruksi oleh panggung adalah pesona suci sebagai sripanggung. Dari perannya sebagai sripanggung, Suci menjadi kekasih para taipan dan jagoan lokal, lalu mendapatkan fasilitas hidup berupa kemewahan dan kekayaan. Fasilitas, yang awalnya dirasa Suci akan membawa kebahagiaan, tapi ternyata hatinya tetap merasa hampa.
Di sekuen puncak itu, latar di panggung terlihat kosong tanpa ada atribut artistik apapun, hanya berisikan sebuah kursi panjang yang diduduki Suci. Pria-pria yang berkonflik dengannya berada di sebelah kiri bingkai, sementara Albert–supir dan orang kepercayaan Suci–berada di sebelah kanan bingkai. Penempatan tokoh-tokoh itu memecah ruang sejalan dengan dinamika konflik yang terjadi saat itu. Posisi Albert di panggung menyerupai pemain pendukung utama; berada jauh dari kursi panjang, bersandar pada pilar panggung, tapi siap mengambil alih ketika Suci mulai terancam. Saat Suci meledak dan kurva dramatik berada di puncak, geraknya lalu mendekat ke arah Albert. Sekuen ini ditutup dengan turunnya sripanggung dari panggung, yang mengindikasikan tidak hanya penolakan terhadap pesona panggungnya yang dihasrati pria-pria itu, namun juga penghancuran terhadap ilusi tersebut.
Mengapa sekuen penting itu harus berada di panggung? Semisal tidak berada di panggung, apakah akan terbaca lain?
Pesona Suci diciptakan di atas panggung. Hasrat indrawi yang lahir terhadap pesonanya adalah konstruksi realita yang diciptakan dari keberadaannya di atas panggung. Tidak ada latar yang lebih baik untuk melakukan penghancuran konstruksi realita itu selain di tempat di mana citra tersebut dibentuk. Bayangkan dua cermin yang saling berhadap-hadapan, lalu membentuk mise en abyme; untuk menghancurkan gambaran terhadap dua cermin yang saling berefleksi itu, maka salah satu cermin harus dihancurkan. Yang dilakukan Suci tidaklah menghancurkan panggung secara harfiah, namun dia menghancurkan konstruksi realita terhadap jiwa dan tubuhnya melalui konfrontasi ide. Dengan cara tersebut, Suci mengambil alih otoritas atas tubuh dan jiwanya, yang sebelumnya dimiliki oleh ketiga durjana itu.
Selain sejalan dengan konsep panggung sebagai pembentuk realita, sekuen di atas panggung juga memberikan jalinan puitik terhadap keseluruhan narasi film, di mana titik awal bertemu dengan titik akhir di lokasi yang sama, dengan intensi dan waktu yang berbeda. Jalinan puitik itu tidak akan bertemu apabila sekuen tersebut tidak berada di atas panggung. Bila kita berandai-andai sekuen tersebut berada di tempat yang berbeda, semisal di rumah makan milik Oom Kapten, maka penekanan terhadap pemeranan dan penghancuran terhadap citra hasrat dan pesona yang dihadirkan dari pemeranan panggung itu tidak akan sejalan dengan ide awal yang disampaikan di dalam film. Sekuen itu akan terlihat seperti gugatan antar individu yang saling berseteru, bukan gugatan Individu terhadap medium dan realita yang dihasilkan oleh medium itu.
*
Saat pembuatan film, Arifin sendiri mengaku tidak tahu banyak tentang proses pembuatan film. Mengutip reportase Saeffudin di Pos Film 23 Oktober 1977 “Saya tidak suka dengan sanjungan-sanjungan, seperti yang ditulis majalah AKTUIL itu bahwa saya seperti akan membikin kejutan-kejutan dalam film ini. Lha mbok saya sendiri baru tahu kalau saya atur begini lalu di layar putih efeknya begitu. Yang penting saya akan berusaha membuat film ini sebaik mungkin. Lihat saja lah bagaimana hasilnya”. Suci Sang Primadona dibuat dengan semangat keingintahuan dan percobaan-percobaan. Sebagai karya pertama, dia memang memiliki beberapa kelemahan, khususnya di ranah teknis. Namun film ini memiliki kebulatan konstruksi dan kekokohan ide; gagasan terhadap seni, dan konsekuensinya terhadap kenyataan yang dipantulkan citranya.
- https://kineruku.com/ibunda/ diakses pada tanggal 3 Agustus, 2020↑