Skip to main content
Terbitan 1

SUCI SANG

PRIMADONA

Pengantar

Suci Sang Primadona adalah film perdana Arifin. C. Noer; sutradara yang kondang dengan film propaganda Orde Baru Pengkhianatan G30S/PKI. Arifin sudah dikenal sebelumnya sebagai pengarah panggung. Keputusannya untuk menjadi sineas film dianggap sebagai lompatan medium yang hasilnya dinanti khalayak.

Suci diproduksi oleh PT Gramedia Film. Seperti Arifin, Suci ini juga film perdana PT Gramedia. Tidak kurang 70 juta rupiah dituangkan untuk pembuatan film. Seperti yang ditulis di Pos Film, 23 Oktober 1977, Edward Linggar, Executive Producer PT Gramedia Film menegaskan walaupun ini adalah kesempatan pertama bagi Arifin “Saya yakin film ini bisa sukses karena didukung primadona yang cukup kuat dan mahal, seperti Soekarno. M. Noer, Rano Karno, Alam Surawidjaya, juga tokoh-tokoh perfilman yang sudah veteran seperti Mak Habibah Ibu dan Pak Kuncung”. Suci juga menjadi film perdana Joyce Erna yang langsung memainkan pemeran utama.

Suci Sang Primadona bercerita tentang perjalanan seorang penari gandrung dari desa bernama Suci yang mengejar mimpi-mimpi kemewahan hidup di kota. Ia bergabung dengan kelompok Srimulat di Surabaya sebagai sripanggung. Pesonanya di panggung menarik hati para saudagar kaya seperti Om Kapten, Pak Daud, dan Tuan Tjondro yang berhasrat untuk memilikinya. Suci pun harus menjalani kehidupan teater yang sesungguhnya dengan menjual kehormatannya pada pria-pria hidung belang tersebut demi mimpinya. Kehidupan Suci terusik oleh kemunculan Eros, seorang remaja tanggung yang kabur dari keluarganya di Jakarta. Kedekatan Suci dengan Eros yang muda dan idealis membuat Suci berkaca kembali tentang hal-hal yang ia tinggalkan dalam perjalanannya mengejar kemewahan.

Sementara kemewahan hidup dapat diraih oleh Suci, para anggota srimulat harus hidup dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan. Meskipun mereka juga memiliki impian yang sama, hidup mereka hanya bergantung dari panggung. Impian itu tampak mungkin ketika seorang pedagang rokok di Taman Hiburan Rakyat menang lotere. Sayangnya, jalan terang itu justru menenggelamkan mereka pada janji-janji berjudi. Pada akhirnya mimpi hanyalah mimpi. Judi hanyalah ilusi di tengah keringnya kehidupan mereka. Begitu pula impian Suci. Bagaimana ia mendapatkan kekayaannya justru menimbulkan kecemburuan sosial yang berakhir pada malapetaka bagi sandiwara yang dilakukan Suci dan para pria simpanannya. Suci harus menerima realita yang selama ini tertutup oleh angan-angannya.

Rilisnya Suci Sang Primadona mendapat tanggapan, baik dalam bentuk apresiasi maupun kecaman. Francis Handayama menuliskan dalam surat pembaca di harian Suara Karya 12 September 1978 “saya menonton film tersebut di Borobudur Theater bersama-sama dengan beberapa orang teman saya. Ternyata imajinasi saya terhadap film tersebut terlalu banyak dipengaruhi oleh kehebatan iklan-iklan film itu di surat kabar dan juga terpilihnya film itu untuk mewakili Indonesia di Festival Film Asia di Australia serta terpilihnya Joice Erna sebagai ‘the best actress’ untuk tahun 1978 ini dalam Festival Film Indonesia d Ujung Pandang (Makasar) belum lama berselang ini”.

Sandiawan Suharto, dalam sebuah rubrik di harian Suara Karya, September tahun 1978 mengatakan bahwa Suci Sang Primadona tidak menawarkan kebaruan, seperti yang dijanjikan oleh Arifin. “Film ini tidak mengadakan perubahan apa-apa terhadap kebiasaan para pembuat dan pecinta film, sehingga benar-benar dapat membelokkan arah dari film itu sendiri.” Lebih jauh, Sandiawan membandingkan apa yang dilakukan oleh Arifin dengan gerakan sinema Gelombang Baru Prancis “Dari perbandingan dengan pembaharu yang dibawa oleh La Nouvelle Vague ini, menurut hemat saya Suci Sang Primadona tidak berhasil mencapai cita-citanya, yakni: “tentu saya ingin menampilkan sesuatu yang baru..” dalam arti ‘avantgardeis’”

Tanggapan yang lebih positif datang dari Pos Film, tanggal 7 Mei 1976. Dituliskan “Suci Sang Primadona memiliki daya tarik yang mandiri. Yakni daya tarik khas Arifin. Daya tarik yang imajinatif, tapi bersumber kehidupan nyata.” Selanjutnya “sebagai cerita, Suci Sang Primadona memiliki kekuatan dramatik yang intens sekali kekuatan yang memang milik Arifin sebagai penulis cerita drama maupun sutradara pentas”.

Tulisan-tulisan yang dirujuk di atas merekam persepsi publik akan Suci. Persepsi yang terikat dengan aktualitas sosio-kultural saat itu, di tahun 1978, di mana Orde Baru sedang jaya-jayanya, baik di bidang ekonomi hingga politik. Suci sendiri pun bisa dilihat sebagai salah satu produk kultural Orde Baru, yang merekam kegelisahan masyarakat di masa tersebut.

44 tahun berselang, kami memutuskan untuk mengunjungi kembali film ini dari berbagai penjuru. Perihal hasrat, mimpi, dan panggung adalah elemen-elemen utama yang menjadi fokus kami selama berdialog dengan Suci, yang hasilnya kami tuangkan dalam tiga artikel. Jarak 44 tahun, sebagaimana jarak dalam ruang, seringkali mendistorsi persepsi terhadap peristiwa dan karya. Jarak, dalam konteks ini justru mengungkap kedalaman dan hal-hal yang sebelumnya tidak terjangkau oleh perspektif mata dan pemikiran saat itu. Melihat kembali sebuah karya dengan mata yang tumbuh dari konteks sosio-kultural yang berbeda dari ketika karya ini dibuat. 

Aspek Rasio adalah publikasi kritisisme budaya layar yang tiap edisinya memuat tema baru. Seperti PT. Gramedia Film, Joyce Erna dan Arifin. C. Noer yang memulai dari Suci Sang Primadona, kami pun melangkah dengan film yang sama.

Selamat Membaca!

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO

ASPEK RASIO