Tanah Karo dilukiskan dengan elok di film Turang (Bachtiar Siagian, 1957). Bidikan kamera dari kejauhan memperlihatkan Gunung Sinabung memayungi desa Seberaya dan kota Kabanjahe. Dari desa dan kota ini, cerita film Turang lalu mengayun. Sekuen pertama film mengungkapkan kegagalan penyelundupan amunisi oleh gerilyawan nasional dari kota ke desa. Seorang mata-mata membocorkan penyelundupan ini ke komandan militer Belanda. Geriliyawan yang menyamar sebagai penunggang pedati dicegat di tengah jalan, lalu diberondong peluru ketika serdadu Belanda melihat ada berbutir-butir amunisi di dalam karung beras. Dua gerilyawan menjadi korban; seorang meninggal dan satunya lagi berhasil kabur namun terluka hebat. Keduanya lalu ditemukan oleh satuan mereka. Rusli (Omar Bach), nama gerilyawan yang selamat itu, dirawat di sudut lumbung padi di sebuah rumah gerilyawan lain di Seberaya. Adiknya yang bernama Tipi (Nizmah) lalu ditugaskan merawat Rusli.
Militer penjajah, militer nasional dan penduduk lokal. Interaksi antara tiga kelompok ini menjadi komponen pembentuk utama cerita dan imaji dalam film Turang. Interaksi antara tiap-tiapnya merepresentasikan konflik yang terjadi pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang dikisahkan di film. Imaji yang dibentuk oleh Bachtiar Siagian adalah militer nasional yang bergerilya di hutan lereng gunung Sinabung tidaklah berlawanan dengan motif hidup penduduk lokal yang masih berpegang pada adat mereka. Terlebih, para gerilyawan banyak yang berasal dari penduduk desa dan kota di Karo. Bahwa keinginan untuk merdeka bukanlah keinginan yang didorong dan dipaksakan dari pulau seberang, tapi justru lahir dari tekad bersama; baik penduduk desa dan kota saling membantu gerilyawan untuk melawan kekerasan militer Belanda.
Turang memberikan banyak penekanan pada gaya hidup penduduk Karo yang mengisi waktunya sebagai petani. Aspek agraria diperlihatkan secara telaten dalam banyak bagian dan menganyam dalam keseluruhan bangunan cerita film ini. Sebagai contoh: Keberlaluan waktu yang dialami Rusli dari sekarat hingga pulih tidak diperlihatkan secara metrikal, namun dengan tumbuhnya tanaman jagung dari tunas hingga siap panen. Tubuh terluka Rusli yang disembunyikan di dalam lumbung berisi padi di loteng rumah. Kekerasan tentara Belanda yang membunuh tidak hanya manusia tapi juga menghancurkan ladang dan hewan ternak penduduk desa. Amunisi gerilyawan yang disembunyikan di dalam karung beras, dan pandangan cakrawala luas mengarah pada ladang dan sawah. Aspek agraria dan petani tidak diposisikan hanya menjadi bagian dari detail-detail ornamen dalam kisah perjuangan di Karo. Mereka justru adalah bagian utama yang juga ambil peran dan sama posisinya dengan gerilyawan.
Penekanan ini membuat Turang mengambil langkah berbeda dengan film perjuangan lain, yang umumnya mengisahkan heroisme perjuangan melalui militer. Turang, dalam bahasa Karo berarti saudara atau kerabat yang khusus digunakan pada lawan jenis dan bisa diucapkan baik pada laki-laki atau perempuan. Turang dalam pengertian ini diwujudkan dalam bentuk kebersamaan melalui tarian dan lagu yang muncul berulang di film. Turang dalam pengertian yang metaforik dapat ditafsirkan bahwa saudara-saudara kami di Karo–baik pria, perempuan, petani, pedagang juga gerilyawan–sama-sama berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Di sebuah rubrik berjudul Segi Kedaerahan dalam Film Cerita yang ditulis oleh S.M Ardan di majalah Aneka tahun 1958, penekanan terhadap adat dan kedaerahan ini justru olehnya dikritik. Bagi Ardan, kedaerahan di film Turang alih-alih memperkaya, justru melemahkan fokus cerita di film itu sendiri. Ardan bahkan mengatakan bahwa: “Kesadaran nasional pada diri Bachtiar Siagian nampaknya telah berupa exces karena Turang-nya lebih tepat jika dinamakan newsreel Gelora Indonesia; segi kedaerahannya bukan lagi merupakan latar belakang. Ceritanya sendiri jadi terdesak yang mustinya jadi penjalin dan pendukung, tidak ada imbangan antara cerita dan latar belakang”. Saya tidak setuju dengan pendapat Ardan. Penekanan terhadap kedaerahan ini yang menjadi kelebihan Turang. Musik dan tarian adat bukanlah distraksi atau excess–menggunakan kata yang dipakainya, dalam cerita film seperti yang dikatakan Ardan. Sebaliknya, aspek kedaerahan menjadi satu kesatuan dari resistensi melawan kuasa kolonialisme. Bachtiar tidak memosisikan adat dan kedaerahan itu sebagai latar belakang dan unsur yang berbeda dengan perjuangan gerilyawan. Bachtiar tidak memperlihatkan resistensi kolonialisme dalam pengertian yang terbatas, yaitu hanya dalam bentuk kekerasan dan militerisme. Ada sisi lain yang coba diungkap olehnya melalui Turang; bahwa resistensi terhadap kuasa kolonial dapat ditunjukkan melalui lokalitas dan adat setempat. Bahwa bernyanyi dan menari juga dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan. Melalui Turang, Bachtiar seakan mengungkapkan bahwa perjuangan di Karo memiliki gerak dan nada yang berbeda yang perlu diingat juga dirayakan. Perjuangan terhadap kolonialisme memiliki bentuk-bentuk majemuk yang berbeda di tiap-tiap daerah, hal inilah yang ditekankan oleh Bachtiar.
Selain merekam cakrawala Tanah Karo dengan elok, Turang juga membuktikan bahwa Bachtiar adalah seorang sineas yang cekatan dalam perekaman di ruang sempit. Tengok adegan pencarian Rusli oleh tentara Belanda di rumah Tipi. Rumah itu adalah rumah tradisional, ukurannya tidak terlalu besar. Ruang di dalamnya dibagi dalam dua bagian; ruang di bawah adalah tempat seluruh aktivitas kegiatan manusia; tidur, menemui tamu, memasak dan makan, dan di atas adalah tempat penyimpanan padi hasil panen. Rusli disembunyikan di atas, sementara Tipi berada di bawah. Kedua ruang itu dihubungkan dengan tangga bambu yang bisa dipindah-tempatkan. Kamera dengan dolly-nya mengungkap dengan sangat telaten sudut-sudut ruang sempit di rumah itu, dan mengomposisikan tubuh manusia-manusia yang berada di dalamnya tanpa paksaan yang berlebih seperti berada di panggung prosenium. Posisi kamera saat mendekati dan masuk ke ruang bawah lalu ke atas direkam dalam satu tarikan utuh tanpa potongan. Cara-cara ini membuat penonton memahami skala, dimensi dan sudut rumah tersebut tanpa perlu banyak eksplorasi yang berlebihan. Penataan cahayanya tidak melulu realistis, dalam artian sudut datang cahaya beberapa kali terlihat datang dari berbagai titik, namun sejujurnya, hal ini bukanlah masalah karena sudut datang cahayanya sendiri selalu tetap dalam banyak adegan dan konsisten terhadap kenyataan ruang; ruang atas selalu terlihat lebih gelap dibandingkan dengan yang di bawah.
–
Turang adalah film Bachtiar Siagian yang selama ini dianggap musnah karena genosida kebudayaan pasca penangkapan dan penumpasan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada pertengahan tahun 1960-an. Bachtiar bukan anggota PKI, namun anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Kedua organisasi ini seringkali dianggap satu rumah, padahal keduanya adalah organisasi mandiri yang memiliki pengurus dan hirarki yang berbeda. Pelarangan terhadap segala sesuatu yang beraroma Kiri saat Orde Baru menghasilkan perintah penghancuran arsip dan karya seniman-seniman yang dianggap memiliki ideologi tersebut, termasuk Bachtiar dan karya-karyanya. Sebelum berita ‘penemuan’ kembali Turang, satu-satunya karya Bachtiar yang tersisa adalah Violetta (1962) yang berkisah tentang roman seorang perempuan di masa remaja. Turang memenangi empat penghargaan saat FFI (Festival Film Indonesia) 1960; Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Pembantu Terbaik dan Tata Artistik Terbaik. Turang diperkenalkan ke dunia melalui Festival Film Asia Afrika dan tayang di Festival Film Asia Afrika pertama di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Uzbekistan) tahun 1958. Kita beruntung bahwa setelah bertahun-tahun, Turang ternyata bisa terlacak dan masih tersimpan di brankas arsip film di Moskow, Rusia. Film Turang yang tersimpan di Moskow adalah film yang pernah tayang pada Festival Asia Afrika di Tashkent itu. ‘Kepulangan’ Turang ditandai dengan penayangannya di Seberaya pada 29 Oktober 2024 lalu. Penayangan yang diinisiasi oleh Bunga Siagian–anak kandung dari Bachtiar Siagian yang juga mengupayakan ‘kepulangan’ Turang–dan kawan-kawan komunitas film lokal di Karo. Melalui jejaring dan kerja kebudayaan transnasional, kita berharap film dan arsip lain yang pernah dimusnahkan dapat ‘ditemukan’ kembali, diberikan kehidupan kedua, serta pengadilan yang layak bagi mereka yang dihapus dari sejarah.
*foto film diambil dari cuitan twitter Yuki Aditya